Akar Kekerasan
KEKERASAN memang tak pernah hilang dari bumi ini. Dewasa ini berbagai aktivitas sosial manusia selalu saja dibumbuhi dengan kekerasan. Kekerasan sepertinya memang telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Kekerasan hadir dalam kehidupan manusia, baik secara sosial maupun individu.
Kekerasan dalam sejarah panjang manusia, sejak munculnya manusia pertama dalam literatur keagamaan kita (Islam) terjadi pada masa Nabi Adam. Itulah kekerasan pertama dan permbunuhan pertama yang dilakukan oleh manusia kepada manusian lain. Kekerasan yang terjadi antara anak Nabi Adam, Habil dan Qabil yang berujung pada kematian merupakan merupakan sejarah awal kekerasan di dunia manusia.
Kekerasan, kekejaman, pembunuhan memang telah dilakukan oleh manusia sepanjang sejarah mencatatnya. Catatan kekerasan yang terjadi pada manusia menjadi study tersendiri dalam sejarah manusia. Perang, menjadi catatan kekerasan yang terjadi di antara manusia yang begitu banyak tercatat dalam buku-buku sejarah manusia.
Tentu saja perang bukanlah tujuan hidup manusia. Sebab perang merupakan sesuatu yang membuat manusia menjadi hancur, baik yang kalah maupun yang menang. Perang akan melahirkan kebencian dan tentu saja balas dendam yang akan terus menerus terjadi dari generasi ke generasi berikutnya.
Kendati begitu panjang sejarah kekerasan yang tercatat dalam sejarah manusia, akan tetapi selalu saja manusia gagal untuk belajar dari catatan panjang itu. Kekerasan yang telah mengakibatkan begitu banyak kesengsaraan, menumpahkan air mata, menimbuhkan dan menyuburkan kebencian, serta menghilangkan nyawa, sepertinya hanya menjadi cerita masa lalu.
Manusia seperti kehilangan kekuatan untuk belajar dari perjalanan panjang kehancuran manusia karena kekerasan. Manusia seolah tak peduli terhadap kenyataan yang pernah terjadi di masa lalu. Tak peduli pula dengan riwayat kehancuran yang diakibatkan gairah saling menghancurkan yang ada pada diri manusia.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, kekerasan di negeri ini begitu banyak terjadi. Semua berawal dari benturan kepentingan yang tidak saling memanusiakan manusia. Di beberapa daerah, berbagai kekerasan menjadi tontonan di berbagai media, baik yang diakibatkan oleh persoalan sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Dari skala kecil hingga besar. Dari urusan perut, hingga pada persoalan politik, khususnya di Pemilukada yang melibatkan massa dalam skala yang sangat besar.
Memang saat ini, perang tidak lagi begitu banyak terjadi. Akan tetapi perang bukan hanya satu-satunya penyebab orang saling membunuh. Saat ini begitu banyak sumber konflik yang membuat orang saling menghilangkan nyawa. Tindak kekerasan bukan hanya terjadi pada perang. Tetapi berbagai konflik yang terjadi antar individu atau kelompok saat ini telah begitu banyak menimbulkan kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah bahkan kematian.
Di negeri ini, untuk memotret kekerasan yang terjadi, berbagai media pun menyediakan ruang yang banyak. Bahkan untuk menghadirkan potret kekerasan yang terjadi diterbitkan sebuah media khusus untuk itu. Kekerasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sangat sering dihadirkan dalam berbagai media. Dan media juga sepertinya mulai doyang dengan berbagai kekerasan itu, hingga bahkan mem-blow up sedemikian rupa. Entah, untuk meningkatkan rating atau untuk memberikan pelajaran kepada manusia lain agar tak melakukan kekerasan. Atau mungkin kedua-duanya.
Meningkatnya kekejaman dalam berbagai skala telah menarik perhatian para pemikir untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan teoritis mengenai sifat dan penyebab terjadinya agresi pada diri manusia. Adalah Sigmund Freud, salah seorang ahli yang membahas masalah perkebangan manusia, khususnya dari segi psikologi. Freud adalah seorang pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi berkebangsaan Austria keturunan Yahudi. Ia lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia dan meninggal pada 23 September 1939 (umur 83), London, England, U.K.
Dalam pandangan Freud, pada awalnya, dia memusatkan teorinya tentang perkembangan psikologi manusia di seputar dorongan seksual. Namun pada 1920-an, Freud kembali merevisi teorinya dan merumuskan teori baru yang menyatakan bahwa hasrat untuk merusak “insting kematian” sama kuatnya dengan insting untuk mencintai “insting kehidupan”, “seksualitas”.
Freud melihat bahwa dalam diri manusia terdapat dua insting yang mempengaruhi berbagai tingkah laku manusia yaitu insting kematian dan insting kehidupan. Insting inilah yang menyebabkan manusia bertindak keras, kejam, bahkan saling membinasakan di antara manusia (“insting kematian”). Di sisi lain, insting ini pulalah yang membuat manusia saling menyayangi dan mengasihi, memelihara bahkan saling memberi kehidupan (“insting kehidupan”, “seksualitas”).
Kedua insting inilah, menurut Freud, yang menggerakkan manusia untuk saling menyakiti “membinasakan” ataupun saling mencintai “memberi kehidupan”. Kedua insting ini bergerak terus dan mengalami dinamisasi, tergantung seberapa kuat dan seberapa besar kedua insting ini berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Begitulah, kehidupan manusia bergerak dalam pengaruh dua insting tersebut. Meski demikian, kecenderungan manusia pada dasarnya ingin saling mengasihi, menyayangi atau memberi kehidupan pada manusia lain. Akan tetapi begitu banyak pengaruh sosial yang menyebabkan “insting kematian” tumbuh subur dalam diri manusia. Bahkan kekuatan insting ini mempengaruhi manusia hingga akhir kehidupannya.
Untuk itulah, manusia seharusnya menyadari keberadaan dua kekuatan yang ada dalam diri tersebut. Dengan demikian, setiap manusia seharusnya berlomba-lomba untuk menumbuhkan “insting kehidupan” dalam diri. Tentunya saja dengan tumbuh suburnya insting tersebut, dengan sendirinya menekan tumbuh dan berkembangnya “insting kematian” yang sifatnya destruktif tersebut.
Sesungguhnya manusia telah banyak diberi atau mendapat ajaran-ajaran yang seharusnya mampu menumbuhkan “insting kehidupan” dalam dirinya. Ajaran-ajaran moralitas dalam berbagai pandangan, berbagai rumusan adat yang disampaikan secara turun-temurun, bahkan berbagai teks-teks dalam agama merupakan berbagai instrumen yang seharusnya membuat manusia mampu berkembang dengan baik dan menumbuhkan “insting kehidupan dalam diri hingga akhir kehidupannya.
Di berbagai seminar-seminar, berbagai pelaksanakaan ritual budaya, terlebih tempat-tempat ibadah, manusia senantiasa mendapatkan ajaran-ajaran yang baik. Ajaran-ajaran yang berusaha melihat manusia dari sisi baik dan akan terus berbuat baik jika berada dalam koridor ajaran-ajaran agama.
Teks-teks agama malah senantiasa dibacakan dalam berbagai kesempatan. Nyanyain-nyanyian rohani, tilawatil Qur’an dan berbagai aktifitas keagamaan lainnya malah sering dilombakan dalam berbagai momen.Orang-orang yang datang untuk menyaksikan pun sangat banyak dan antusias.
Akan tetapi kenyataan menunjukkan lain. Ternyata “insting kematian” terkadang datang semakin kuat dan mendominasi segala aktivitas manusia. “Insting kematian” selalu saja mendapat tempat yang baik. Sadar atau tidak, manusia telah menempatkan insting tersebut pada wilayah terhormat dengan berbagai alasan, terutama alasan ekonomi, terlebih kekuasaan. Dalam kondisi demikian, “insting kehidupan” mengalami tekanan yang luar biasa, sehingga insting tersebut sangat sulit untuk melepaskan diri dan menjadi dominan dalam diri manusia.
Sesungguhnya peran-peran agama mampu melakukan proses-proses penekanan terhadap “insting kematian” tersebut. Akan tetapi, agama sepertinya hanya sebatas teks, atau paling tidak sebatas tingkah laku individu terhadap Tuhannya. Bukan menjadi tingkah laku individu terhadap individu lainnya. Karena itulah, tindak kekerasan, kebencian, iri hati, angkuh atau keinginan untuk saling menyakiti, bahkan membinasakan masih terus dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian kesadaran akan perbaikan kehidupan manusia dalam menumbuhkan “insting kehidupan” masih terus mengalami tantangan dan hambatan. Sesungguhnya semua itu bukan hanya karena kekuatan lingkungan sosial, akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.
Memang “insting kematian” tidak dapat dihilangkan dalam diri manusia. Namun insting tersebut dapat dikendalikan, bahkan ditekan selama masa kehidupan setiap manusia. Oleh karenanya, setiap manusia harus senantiasa menjaga kesadarannya. Sebab jika pengendalian yang dilakukan manusia terhadap “insting kematian” longgar, maka insting itu akan muncul dan berusaha mengendalikan manusia.
Manusia memang seharusnya senantiasa belajar pada sejarah panjang kekerasan yang terjadi di dunia ini. Kekerasan yang pasti berujung pada penderitaan, baik yang melakukan kekerasan maupun yang menjadi korban, haruslah terus menerus dihindari dalam berbagai hal.
Akan tetapi, sesungguhnya jika agama tidak sekedar menjadi teks yang dibaca atau hanya menjadi hubungan antara Tuhan dan individu semata, maka “insting kehidupan” dalam diri manusia dapat tumbuh dengan baik, bahkan mendominasi kehidupan manusia hingga akhir hayatnya. Teks-teks agama seharusnya mampu pula membangun hubungan antara manusia dengan manusia lainya dan terejawantahkan dalam kehidupan.
Makassar, Akhir Mei 2011