Etika dan Moralitas Politik Kepemimpinan Tradisional
Oleh Idwar Anwar
Luka taro datu, telluka taro ade’. Luka taro ade’ telluka taro anang. Luka taro anang telluka taro to maegae. (Batal ketetapan Datu, tak batal ketetapan Pemangku Adat. Batal ketetapan Pemangku Adat, tak batal ketetapan Anang (primus interparis keluarga-keluarga besar). Batal ketetapan Anang, tak batal ketetapan orang banyak).
Dalam banyak manuskrip tradisional (lontara’), konsepsi kepemimpinan tradisional di Sulawesi Selatan diuraikan dengan cukup jelas. Paseng yang termaktub di awal tulisan ini adalah salah satu contohnya. Paseng tersebut merupakan sebagian nasehat yang diucapkan To Ciung Maccae ri Luwu (penasehat Datu Luwu, Dewaraja Datu Kalali yang memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal pemerintahan), sekitar abad ke 15, kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole. Sebelum menduduki tahta kerajaan di Soppeng, La Manussa diperintahkan oleh ayahnya untuk berguru pada To Ciung Maccae ri Luwu mengenai ilmu, etika dan moralitas dalam pemerintahan.
Apa yang diucapkan oleh To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, dalam realitas sosial politik masyarakat Sulawesi Selatan telah memberikan sedikit gambaran betapa dialektika dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada masa lalu –utamanya dalam pengambilan keputusan oleh penguasa— utamanya setelah periode Galigo, berakhir pada keputusan orang banyak (rakyat). Suara rakyat dalam sistem politik masyarakat di Sulawesi Selatan merupakan penentu terakhir dari segala keputusan yang akan diambil oleh pemerintah (kerajaan). Suara rakyat menjadi sesuatu yang sangat penting dalam dialektika politik di masyarakat Sulawesi Selatan.
Gambaran sosial politik masyarakat Sulawesi Selatan pada masa kerajaan tersebut, cukup unik dan agak beda dengan konsep pemerintahan kerajaan di daerah-daerah lain. Sistem pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan jelas tidak begitu absolut dan otoriter seperti halnya dengan sistem kerajaan lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahannya malah bisa dianggap bersifat demokratis, yakni raja tidak mesti turun-temurun/anak raja sebelumnya (meski seorang raja masih harus keturunan bangsawan tinggi dan dipilih langsung oleh dewan adat), tapi dipilih dan diberhentikan oleh semacam Majelis Perwakilan/Permusyawaratan Rakyat. Prinsip-prinsip kerakyatan dalam kekuasaan ini dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah mangelle’ pasang, yakni kekuasaan itu diibaratkan dengan air pasang yang naik ke pantai; suatu simbolisasi tentang kekuasaan yang berasal dari rakyat dan diserahkan kepada pemerintah agar dilaksanakan untuk kepentingan (keadilan, ketentraman dan kesejahteraan rakyat. Di sinilah letak keunikannya dibanding dengan sistem pemerintahan tradisionil lainnya, yang telah dipraktekkan selama ratusan tahun.
Jika ditarik dalam konsep bernegara saat ini, konsep ini bisa diidentikkan dengan konsep demokrasi yang diterapkan dalam pemerintahan masa Yunani Kuno. Dalam konsep Yunani Kuno sebelum terbentuknya pemerintahan Athena yang demokratis, raja juga dianggap sebagai keturunan Dewa.
Konsep demokrasi pada masa Yunani Kuno memang berhasil tumbuh dan berkembang hingga kini. Konsep ini bahkan telah menjadi mainstream pola pemerintahan yang diterapkan di hampir seluruh dunia. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History dan The Last Man, malah menulis bahwa dalam persoalan ideologi politik, masyarakat dunia telah sampai pada satu titik tertentu dan ideologi demokrasi telah menjadi pemenangnya.
Konsep demokrasi yang dicetuskan beberapa abad yang lalu itu, tidak dapat dipungkiri –meski tak seluruhnya-- telah menjadi cita-cita masyarakat dunia hingga awal abad 21 ini. Kemenangan ideologi demokrasi dalam pertarungan ideologi ini menurut Fukuyama telah melalui proses dialektika yang cukup panjang.
Dasar pemikiran Fukuyama ini berlatar pada pemikiran Filsafat Sejarah Hegel yang berpandangan bahwa sejarah adalah sebuah proses yang rasional karenanya itu bersifat universal. Dalam proses ini, menurut Hegel, arah sejarah menuju pada satu titik tertentu dan untuk mencapai titik tertentu tersebut terjadi dialektika di dalamnya. Berdasar salah satu pandangan inilah, Fukuyama menarik sebuah kesimpulan –paling tidak sampai awal abad 21— bahwa dalam proses menuju titik tertentu tersebut dan melalui proses dialektika yang cukup panjang, ideologi demokrasi telah menjadi mainstream dari semua ideologi politik yang ada di dunia.
Dalam banyak kasus, pertarungan ideologi politik dari zaman ke zaman ini memang telah melahirkan sebuah ideologi politik yang menjadi acuan di hampir semua sistem pemerintahan di dunia, baik itu melalui “pemaksaan” maupun PEMAKSAAN. Ideologi demokrasi telah dianggap sebagai panglima dari semua ideologi politik yang ada di dunia. Karenanya, dengan berbagai cara paradigma masyarakat dicekoki agar dapat menerima dan menganggap sistem demokrasi merupakan satu-satunya ideologi politik yang paling baik dan harus diterapkan di seluruh sistem pemerintahan di seluruh dunia, demikian pula di Indonesia.
Di Sulawesi Selatan sendiri, ideologi politik mungkin belum dirumuskan sebagai sebuah ilmu pengetahuan dengan segala macam tetek-bengek metodologinya. Namun dalam konsep kepemimpinan, masyarakat Sulawesi Selatan telah menerapkan sebuah sistem (kedaulatan rakyat) yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dengan lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas kepemimpinan dalam pemerintahan.
Berlandas berbagai tata nilai kepemimpinan (pemerintahan) yang menitik-beratkan pada etika dan moralitas politik, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pun membangun sistem pemerintahannya. Sistem kepemimpinan yang diterapkan dalam kehidupan bernegara masyarakat Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas politik seorang pemimpin –sejak masa Galigo hingga masuknya Islam-- inilah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kualitas moral yang baik.
Dalam berbagai manuskrip tentang kepemimpinan di Sulawesi Selatan, unsur etika dan moralitas kepemimpinan memang merupakan tolak ukur utama dalam menjalankan roda kekuasaan bagi seorang pemimpin. Beberapa hal yang diungkapkan To Ciung, merupakan unsur penting yang harus dipegang oleh seorang pemimpin (raja) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Bahkan secara keseluruhan, To Ciung melihat bahwa kebaikan sebuah negeri juga harus didukung oleh seluruh alat negara dalam lingkup pemerintahan:
“…Tidak sembarang orang yang dijadikan alat negara. Seseorang dapat dijadikan alat negara, jika ia memiliki empat hal. Pertama, ia jujur. Kedua, ia berpikiran panjang. Ketiga, ia kaya. Keempat, ia pemberani.
Konsep kepemimpinan yang berlandas pada etika dan moralitas ini dalam realitas pola kepemimpinan sekarang tidak lagi menjadi tolak ukur dalam memilih seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan untuk memisahkan moralitas dari konsep kepemimpinan. Dalam nasehat To Ciung kepada La Baso’ To Akkarangeng tentang hal-hal yang dapat memperbaiki kerajaan, dapat dilihat sebuah konsep bernegara yang seharusnya diwujudkan untuk memperbaiki negeri.
Berkata La Baso’ To Akkarangeng: “Apa yang memperbaiki kerajaan, Nenek?”
Berkata To Maccaé ri Luwu’: “Delapan jenisnya. Pertama, kita harus jujur. Kedua, kita harus berkata benar. Ketiga, kita harus teguh pendirian. Keempat, kita harus mawas diri. Kelima, kita harus bermurah hati. Keenam, kita harus peramah. Ketujuh, kita berani. Kedelapan, harus tidak pilih kasih.
Begitu banyaknya konsep kepemimpinan dalam manuskrip-manuskrip tua (lontara’) yang ada di Sulawesi Selatan, hampir semuanya menitik beratkan pada aspek etika dan moralitas yang harus menjadi pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pandangan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan, baik buruknya (berberkahnya) sebuah negeri tergantung dari baik buruknya moralitas pemimpinnya.
Jika konsep demokrasi Yunani bisa survive hingga sekarang, mengapa konsep pemerintahan di Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas (pribadi sang pemimpin dan bukan hanya sistem) tidak mampu tumbuh dengan baik. Apakah karena selama ini sistem nilai yang dianut hanya menjadi milik kultur lain dengan menafikan sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan sendiri? Ataukah memang sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan telah lama hilang dan hanya menjadi benda mati dan tergeletak dalam kitab-kitab tua?
Transformasi nilai-nilai dan ajaran kepemimpinan kuno dalam kehidupan bernegara hanya mampu hadir sebagai wacana, dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan semakin derasnya sistem nilai yang datang dari luar. Berbagai konsep kepemimpinan yang dianut di Indonesia telah memarginalkan sistem nilai dan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Karenanya, upaya untuk melakukan transformasi nilai-nilai kultural tersebut merupakan sebuah kerja keras. Meski demikian, upaya ini seharusnya dilakukan melihat realitas nilai-nilai kultural kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang semakin kehilangan ruh. Nilai-nilai etika dan moralitas yang ditawarkan dalam berbagai konsep kepemimpinan, sepertinya hanya merupakan lip service yang berujung pada kegagalan dogmatis.
Membangun kesamaan perspektif (yang akan diejawantahkan dalam berbagai dimensi kehidupan), akan nilai-nilai etika dan moralitas dalam kepemimpinan kuno yang tergeletak dalam kitab-kitab tua (lontara’), merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk membangun dan mengembalikan nilai-nilai siri’ yang menjadi ruh dari segala tindakan manusia Sulawesi Selatan.
Siri’ emmitu ri onroang ri lino,
Utettong ri ade’e
Najagainnami siri’na
Naia siri’e sunge’ naranreng,
Nyawa nakira-kira
(Hanya untuk siri’ kita hidup di dunia
Aku setia pada ade’
Karena dijaganya siri’ kita
Adapun siri’, jiwa ganjarannya
Nyawa taruhannya)
Siri’ emmitu riaseng tau
Narekko de’i siri’ta, taniaki tau, rupa tau mani’ asenna
(Hanya karena siri’ kita disebut manusia
Jika tidak memiliki siri’, kita bukan manusia, tapi hanya menyerupai manusia)
Makassar, 6 Oktober 2006
Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar 2006