Ibu, Temani Aku Menyulam Surga
Cerpen Idwar Anwar
Di luar malam berbicara tentang kesunyian. Gelap menyelubungi. Lentera bulan pucat pasi mengerjap-ngerjap di sela-sela dedaunan. Bayangan pepohonan rebah, lalu lesap. Di gerimbunannya, suara-suara burung hantu resah. Suara angin mendesir, menyusup pecah di antara jerit suara-suara jangkrik. Lalu diam. Sunyi menjalar. Sisa-sisa abad kesunyian dan udara dingin meremangkan bulu roma. Angin sesekali berkesiur, lalu malam menjelma ngarai. Sunyi menebah resah.
Begitulah, setelah kesunyian yang menggelisahkan itu berlalu. Ketika seseorang mengetuk pintu. Ia datang dalam percakapan duka yang dibalut indah harum kasturi. Namun, di hati yang tersisa hanya lamat-lamat denting kegelisahan. Gundah menetes dari sela-sela angan. Aku muak.
“Siapa? Ketuklah perlahan dengan desah nafasmu. Pintu itu hanya satu,” pekikku sambil membalik-balik ingatan masa-masa purba.
“Aku. Sahabatmu. Aku tahu kau sedang menungguku.”
“Aku rindu keterasingan. Pergilah jauh-jauh, aku tak membutuhkanmu! Berlarilah dan asingkan dirimu dari diriku. Aku hanyalah butiran kecil dari duniamu. Aku ingin menyulam surga di kepalaku, di jiwaku….. Pergilah!”
Lalu, api pengasingan membakar. Nyalanya menyergap dalam didih jiwa. Aku lalu berkelana dalam berabad-abad kesunyian. Menyanyikan rindu dalam untaian nada-nada serak. Keruh. Pengasinganku semakin keras kepala. Kerasnya bongkahan memasung perpisahan itu. Langkah kakiku gontai menyeret konstruksi asa. Api pengasingan; inilah awal perpisahan dua sahabat.
Mungkin inilah kesunyian yang paling sunyi. Kicau debu yang memburu menanggalkan jubahnya satu per satu. Membentur kelopak-kelopak jiwa yang bening. Bayangan batu nisan melintas. Sepenggal tangis menetes mengalir dalam peta tanah yang merah. Aksara-aksara memeluk erat permukaannya; nanar.
Tapi aku akan tegar. Perpisahan adalah kenangan. Dalam diri pernah ada musim kabut yang menyelimuti dan menghalau putaran roda sujudku. Hingga getaran suara putih tak mampu terdengar dentingannya. Ia datang menebang pohon-pohon tafakurku. “Ah…!”
Kembali suara ketukan pintu terdengar. “Pergilah!”
“Tapi aku, sahabatmu. Ya, aku benar-benar sahabatmu. Aku ingin bertemu. Aku ingin berbagi. Jangan tanggalkan masa lalumu. Marilah kita kembali jalan bersama mengarungi guratan panjang usiamu.”
“Bukankah berabad lalu telah kukatakan, aku rindu keterasingan. Aku rindu tafakurku. Pergilah! Tak ada ruang di rumahku untuk dua AKU yang berbeda.”
“Tapi aku tidak berbeda. Kita telah menyatu dalam satu nafas kehidupan. Aku tahu kau takut kehilangan aku. Aku sahabatmu. Akulah guratan takdirmu. Aku telah menemanimu dalam abad-abad purba. Bukalah pintumu. Letakkanlah jiwamu di sisiku! Mari kita bercakap dan bercengkramah dalam genangan kerinduan. Bukankah itu yang kau nanti-nantikan?”
“Tidak…! Tidak...! Aku adalah aku dan kau adalah kau. Aku tak butuh kau. Kita berbeda. Duniamu berbeda. Tujuanmu berbeda. Biarkan aku membangun surgaku sendiri. Aku telah lama kehilangan kata untuk kuukir di lembaran-lembaran dedaunan yang meliuk dicecah angin. Aku telah kehilangan kata yang biasa kutitip di daun pintu-Nya sebelum menginjak altar-Nya yang semerbak. Aku telah kehilangan guratan-guratan indah di kedalaman jiwaku. Ya…, aku benar-benar telah kehilangan segalanya. Segala yang selama ini menyulamkanku surga.”
“Tidak! Kau tidak pernah dan tidak akan kehilangan apa-apa. Kemarilah, kita sulam surgamu bersama-sama. Aku akan menemanimu.”
“Tidaaaaak…!” teriakku.
Gerombolan kelelawar menghujam deras menghantam sudut-sudut kesadaran dan menghitamkan alam rayaku. Ingin kupecahkan hari-hari usang di otakku.
Entah, di mana bertahta nurani. Di mana bersemayam bongkahan matahari. Di mana harus bertahta ketika singgasana telah berawan hitam dan dosa-dosa larut dan bercampur nanah. Di mana harus bertahta sedang serpihan hati tercecer di tong-tong sampah. Atau memang tak ada lagi singgasana yang pantas untuk bertahta?
Begitulah, bila malam selalu berkaca pada kegelapan yang lenguh menetesi degup jantung. Terlalu banyak yang hilang. Langit beribu awan menerkam dilajur keheningan bersama setiap orang-orang yang kadang lupa memaknai ketiadaan. Malam yang pekat. Di luar suara ketukan itu masih menggema; begitu keras kepala.
Tubuhku seketika gemetar. Aku begitu gamang jika menyaksikan bongkahan-bongkahan tubuh yang terkapar tanpa daya, tertimbun tanah yang tak mengenal rasa kasihan. Tubuh-tubuh itu pasrah dan tak berdaya mengarungi lautan hitam yang menusuk-nusuk mata. Dan hewan yang menggerogoti, begitu dingin mencabik-cabik tubuh. Mati. Mereka memang telah mati. Tapi, apa yang mereka kerjakan ketika katub-katub nafas masih terbuka lebar dan tubuh masih tegak bercermin di cakrawala?
Sebuah pertanyaan yang terus menggerogoti kesadaranku. Pelatuk-pelatuk kematian telah ditarik dengan tergesa-gesa bagi mereka yang larut dengan matahari yang terbit dari Timur yang menyemarakkan bunga-bunga dan hinggap pada kicauan burung-burung. Mereka yang lupa bahwa matahari juga akan terbit di Barat yang membiarkan air laut bermain sebebas-bebasnya. Membiarkan lengkingan bumi bergemuruh. Isi jagad raya tak perduli lagi dengan rambu-rambu dan rumus-rumus ilmu pasti yang selama ini membuat manusia congkak menyusuri ladang semesta.
Tapi, bagi mereka yang terus memintal benang-benang cahaya dan membungkus cakrawala dengan madu yang dicebur pada setiap serpihan kehidupannya, akan terbit sinar yang menyelimuti, meski tanah begitu kejam memenjarakannya dalam perut bumi.
Mati. Aku takut jika pelatuk-pelatuknya ditarik tergesa-gesa dan diarahkan ke jantungku. Aku takut tercabik-cabik dan tanpa daya. Aku takut. Aku ingin belajar memintal benang-benang cahaya dalam setiap serpihan hidupku. Aku ingin... sungguh ingin. Namun di luar, suara ketukan itu tak juga lenguh. Ia terus mengusik tafakurku.
“Pergilah! Jangan ganggu aku. Aku ingin memaknai sunyi dengan beribu sujud. Aku ingin tetes suaraku menggema menyabung halilintar di angkasa dan bermain bersama gemanya yang pekak. Aku tak butuh kau!”
Tapi sia-sia. Ketukan itu masih saja membahana, menggelegar di antara keheningan jiwaku. Tubuhku makin menggigil dan tafakurku kian terusik.
“Bukalah pintumu. Bukankah kita pernah bersama? Ingatlah ketika kuntum-kuntum bunga kutebar di langitmu. Bukankah itu masa-masa indah yang pernah kita lalui. Maka bukalah pintumu. Bukankah pintu ini hanya aku yang kau persilakan untuk memasukinya? Karena pintu ini adalah pintu yang memang dibangun untukku.”
“Tidak. Sekali lagi tidak. Aku tak ingin lagi bersamamu. Pergilah jauh dari kesunyianku.”
Tapi sekali lagi percuma. Hari-hari purba benar-benar telah merengkuh. Menyebar buih-buih di lautan gelombang dan merentasnya dalam kubur bernisan air mata. Begitu tandus perjalananku. Belukar; hanya duri yang tersisa.
“Duhai sahabatku. Bukalah pintumu. Mendekatlah biar kurengkuh sukmamu dalam nafasku. Inilah surga yang kutawarkan. Yang kusulam dari selarik anganku dan akan kusimpuhkan di altarmu.”
“Tidak. Aku ingin surgaku sendiri. Surga yang akan melumatkan bongkahan api di dada bersama nafsuku yang membara. Inilah surga yang kuimpikan dengan bau kasturi yang tak akan pudar dalam musim api yang terus mengaliri denyut nadiku. Aroma neraka pun membumbung jauh. Inilah surga yang akan kurancang dengan jiwa, ketulusan dan anganku. Aku tak ingin surgamu yang tandus dengan taburan musim gugur. Surga yang hanya menawarkan sesuatu yang fana. Aku ingin surga yang baka. Surga dimana aku menemukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh apa dan siapapun. Surga dimana aku bisa hidup selama-lamanya.”
***
Dua sahabat. Awal dari sebuah perpisahan. Aku rela. Dan aku harus rela. Rasanya tak sanggup membayangkan tubuh remuk tanpa daya; tertimbun tanah; dicabik-cabik cacing. Tak kuat rasanya merasakan siksaan baka, hanya karena surga fana yang selalu membelenggu hidupku. Surga yang mengungkung segala kedhaifanku dan memenjara segenap kemanusiaanku.
Seketika aku terkesiap. Ah, tiba-tiba aku begitu saja teringat engkau ibu. Mengapa selalu saja ada yang tak mampu kumaknai tentang manik-manik yang menjuntai di sudut matamu. Tentang surga yang ada di telapak kakimu. Surga yang seharusnya tempatku bersimpuh mengeluarkan seluruh ketidakberdayaanku.
Ibu, aku membayangkan engkau duduk di sampingku dan menemaniku menyulam surga. Surga yang selalu kau bisikkan sejak aku belum mengerti tentang dunia. Bahkan kau merancang surga untukku; menyulamnya dengan doa-doa dan air mata hingga rambutmu beruban dan wajahmu mulai ditumbuhi keriput.
Aku tak tahu ibu, harus kusebut apa dirimu yang telah menjagaku dengan penuh kasih sayang dalam rahimmu; menyedot segala saripati dari tubuhmu hingga aku tumbuh dengan sempurna sebagai seorang manusia. Harus kusebut apa engkau ibu yang dengan segala kesabaran menemaniku sekian lama dan menuntunku untuk mengenal dunia ini. Mengajariku tentang hidup dan segala macam makna kehidupan. Sementara aku begitu saja berusaha meninggalkanmu. Meninggalkan butiran-butiran bening di sudut matamu, tanpa harus sedikitpun merasa bersalah dan berusaha memaknai segalanya.
“Ah, ibu… harus kusebut apa pula diriku yang telah menumpahkan air matamu…?”
***
Di luar, malam hembuskan angin beribu tafsir dan ilallang kering menusuk gelapnya. Tak ada lagi yang pantas kuterjemahkan, kecuali bening matamu ibu. Di situ kutemukan keheningan yang mampu memberiku ketenangan. Ya… ketenangan yang tak ada duanya di dunia ini.
Namun suara ketukan semakin keras. “Ayolah sahabatku. Bukalah pintumu. Ada hening di sini. Ada ketenangan di sini. Bukalah perlahan. Lihatlah aku dengan mata senjamu.”
Tubuhku dengan cepat dirambati kegamangan. Gigil tubuh menyisakan gemeretak dalam deru nafasku.
“Ibu, enyahkan dia dari jiwa anakmu ini. Bukalah lubang kubur dan tanamlah nisan di kepala dan kakinya, biar aku dapat menyulam surga bersamamu. Aku tak ingin serpihan kaca itu pantulkan duka. Tidak ibu! Tidak! Aku tak ingin lagi mengulang cerita usang itu. Maafkan aku ibu. Maafkan anakmu yang tak mampu menterjemahkan bening matamu.”
Ketukan itu masih terdengar. Dua orang sahabat? Tidak lagi. Aku ingin meninggalkannya. Di tepi peta yang digambar dengan tangan yang lelah, tubuhku memintal sujud. Menjelma garis-garis sungai. Muara tungku terbakar. Gemeretak kayu-kayu merekah di antara desah zikirku.
Aku muak. Aku ingin lepas dan menanggalkan jubah masa lalu. Inilah tepi bisu, tepi mulut-mulut yang terkunci. Aku ingin lari. Di sini tangan, kaki, mata, hidung, kepala, terkurung. Jiwa tak pernah bernyanyi dengan lagunya sendiri, dengan suara-suaranya sendiri. Sebuah orkestra dengan partitur musim beku.
Aku terjerat. Aku larut. Sepiku tak lagi menyisakan makna. Dukaku menebar selaksa perih. Aku tak ingin mengulang cerita gumpalan kabut yang sekian lama memeta dalam garis–garis hidupku, menutupi mata hati dan menggiringnya dalam gelap. Geliat nafasku sungguh tak lagi bertasbih. “Akkh… maafkan aku ibu.”
“Sudahlah! Singkirkan keraguanmu. Mari kita satukan kembali nafas kita. Aku tak ingin meninggalkanmu. Kita telah menyatu. Dalam dirimu ada aku dan dalam aku ada dirimu. Cepatlah kemari, gapai nafasmu dalam nafasku. Tak ada yang hilang. Kau bahkan menemukan kebahagiaan bersamaku.”
“Tidak! Pergilah! Atau aku akan memisahkan rohku dari jasad yang telah mengungkung ini. Lepaskan dirimu dari diriku. Biarkan aku menemukan sepasukan hening yang mengantar jiwaku menjadi irama keikhlasan. Menemukan cinta yang telah kau rengguk dariku sekian lama. Aku ingin kembali memintalnya dengan segala kesadaran dan keikhlasanku.”
“Kemarilah!”
“Tidaaaakkk!”
***
Lalu cerita kamboja yang tergantung renta di balik senja, meliuk menoreh berlaksa cerita kematian. Luka bakar di ujung langit membentang; tanah yang terbelah; tubuh-tubuh kering patah meluncur deras di kedalamannya yang pekat. Batu nisan yang berjejer kabarkan cerita duka sajak-sajak gelapku. Sajak-sajak yang kuukir dengan ujung jari gemetar yang dilumuri darah.
“Jangan! Jangan kau pisahkan kesenangan dunia dari dirimu. Lepaskan dirimu dari keraguan akan diriku. Aku adalah garis-garis dalam peta takdirmu. Kau tak dapat menjauh dariku.”
“Aku tak sanggup lagi. Kita harus berpisah. Atau aku benar-benar akan mengubur jasadku, agar perpisahan abadi itu datang.”
“Jangan. Tenangkan dirimu. Aku datang membawa kenangan indah.”
“Tidak! Kenangan itu tak indah bagiku. Semua itu hanya serpihan-serpihan neraka yang engkau tawarkan dan aku dengan penuh kebodohan menerimanya dengan penuh keikhlasan,” tudingku sengit.
Tapi suara-suara itu tak hendak berlalu sedikitpun. Suara-suara itu bahkan semakin garang menerjang kesadaranku dan berusaha memenjarakanku dalam jeruji-jeruji masa silam.
“Sungguh engkau tak menyadari keikhlasanku membawakanku surga. Tidakkah kau telah menghirup bau surga. Kemarilah, hirup baunya sepuasmu!”
“Tidak. Engkau hanya menipu mataku. Engkau hanya menawarkan sesuatu yang absurd. Sesuatu yang akan membutakan semua penghambaanku pada Kekasihku yang sesungguhnya.”
Aku benar-benar ingin menjauh darinya. Menjauh dari semua kenikmatan fana yang senantiasa ditawarkannya. Aku tak ingin meneteskan kembali air mata ibu. Aku ingin menjaganya. Ya… menjaganya dari segala penderitaan yang lahir dari semua kebodohanku.
Dan di luar malam semakin pekat. “Ah, ibu. Aku takut. Aku begitu lalai dari dirimu. Aku tak pernah memetik anggur dari sajadah panjang yang kau bentangkan dalam jiwaku. Hanya dialah yang selalu datang menorehkan catatan tentang malam-malam usang dengan ulat-ulatnya yang menikam kesadaran. Aku tak dapat mengelak. Ya… ibu, aku memang tak pernah melakoni kesadaranku sendiri. Dia telah merengguk segalanya.”
Aku terus memperkuat kesadaranku. Namun suara ketukan itu semakin keras mengaung dalam batinku. Jiwaku terjerembab. Ia mendobraknya. Memporak-porandakan pertahananku. Rengkuhannya begitu erat memenjarakan jiwaku. Aku tersesak:
“Ibu, bantu aku. Jauhkan aku darinya. Aku sungguh tak sanggup. Ibu, Temani aku menyulam surga. Temani aku menyulam segala yang pernah kau bisikkan ke dalam jiwa! Bawaku aku bersimpuh di kakimu.”
“Akhhhh…!
Aku terus bergulat. Tapi aku kalah. Jiwaku lelah. Nafasnya mencengkeramku begitu garang. Lalu sepotong belati dari tanganku merentas alam rayaku. Aku melayang. Dan semuanya seketika menjadi asing. Langit tempatku berteduh satu persatu runtuh. Keterasingan menyelimuti. Aku melayang mengembara. Begitu ringan. Kulihat jasadku mengerang. Nisanku menangis. (Oke)
Makassar, sunyi yang paling sunyi, 2003
Ibu, maafkan anakmu yang tak mampu memaknai cintamu
Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar