Kritik dan Auto Kritik
MENDENGARKAN kritik memang kadang memerahkan telinga, bahkan menaikkan darah hingga ke ubun-ubun. Kritik memang selalu terkesan pedas, seperti cacian, mungkin juga bisa berbelok arah dan menjelma menjadi hinaan. Tapi itulah kritik. Setiap orang sepertinya sudah sangat mahir mengkritik. Dan yang dikritik juga sudah kebal atau mumpuni dalam menghadapi kritik.
Di negeri ini, kritik menjadi sesuatu yang sepertinya tabu untuk dilakukan. Lebih tabu lagi jika mengkritik pemerintahan, terlebih jika terjadi tindakan yang menyimpang yang dilakukan oleh pemerintah atau para elite birokrasi dan politik. Tentu saja yang mendapat kritik itu merasa dirinya terancam. Kredibilitasnya tercabik-cabik. Atau bahkan mungkin harga dirinya telah diinjak-injak hingga berada pada posisi terbawah dalam hirarki kemanusiaan.
Itulah mungkin yang membuat setiap orang yang dikritik senantiasa merasa perlu dan mungkin wajib untuk memberi pembelaan. Tidak peduli, apakah kritik itu benar atau salah. Yang terpenting adalah harus membela diri secepatnya. Persoalan orang yang dikritik memang salah bukan menjadi soal. Yang terpenting citra di depan masyarakat bisa tetap bagus.
Persoalan kritik memang menjadi persoalan besar di negeri ini. Begitu sulit rasanya melakukan kritik kepada pemerintah. Berbagai hambatan pasti senantiasa menghadang. Demonstrasi yang dilakukan diberbagai daerah, selalu saja diperhadapkan pada pihak keamanan yang lebih sering melakukan tindakan represif dibanding melakukan langka persuasif.
Pemerintah, baik di pusat hingga ke daerah, sepertinya menjadi anti kritik, di tengah-tengah alam demokrasi yang mulai berkembang. Berbagai upaya dilakukan agar masyarakt tidak melakukan kritik terhadap mereka. Berbagai jenis tindakan represif pun kerap dilakukan untuk melakukan pembungkaman.
Kasus Bima, dan beberapa kasus lainnya dimana rakyat mendapat tindakan represif atas kritik yang mereka lakukan merupakan fenomena yang tidak lazim lagi terjadi di republik. Dan di setiap kritik yang dilakukan oleh rakyat, melalui berbagai aksi terkadang ada korban yang berjatuhan.
Bahkan kasus bakar diri yang dilakukan oleh Sondang, salah seorang aktivis dari Universitas Bung Karno merupakan fenomena yang sangat tragis bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kasus ini tentu sangat mencoreng wajah demokrasi yang selama ini digagas pasca reformasi.
Tapi apa yang terjadi dengan penguasa kita? Isu bakar diri kemudian menjadi isu yang tidak subtantif. Bahkan dianggap sebagai bagian dari kesalahan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh mahasiswa. Padahal sesungguhnya, terlepas dari tindakan yang dilakukan sangat ekstrem dan tidak tepat dari pandangan kemanusiaan dan agama, namun yang apa yang dikandung oleh aksi tersebut merupakan ungkapan kekecewaan yang sangat luar biasa yang dirasalah oleh rakyat.
Inilah yang pada dasarnya harus ditangkap oleh penguasa terhadap apa yang sesungguhnya bergerak di tengah-tengah masyarakat di republik ini. Ketidakpuasan rakyat atas kinerja yang ditunjukkan oleh pemerintah merupakan akar dari semua kritik yang terjadi di negeri ini.
Dengan demikian, jika penguasa benar-benar mampu menangkap berbagai kritik yang dilakukan oleh rakyat di republik ini, maka sesungguhnya proses perbaikan bagi negeri ini tentu akan menjadi prioritas utama. Sesungguhnya itu lebih mulia dibanding penguasa harus terus menerus melakukan pembelaan untuk sebuah pencitraan.
Berbagai kasus represif dari pemerintah yang terjadi di republik ini akibat protes yang dilakukan rakyat menunjukkan kenyataan betapa urgensinya untuk memandang berbagai dinamika politik secara bijak. Berbagai elemen masyarakat, khususnya pemerintah sebaiknya bertindak lebih arif dalam menyikapi berbagai kritik yang dilakukan.
Hal yang sama juga seharusnya dipahami oleh para pengkritik. Etika dalam menyampaikan berbagai aspirasi memang seharusnya dikedepan-kan. sebab jika tidak, maka perbenturan antara berbagai kepentingan sangat sulit dihindari untuk tidak berujung pada tindakan represif. Bahkan mungkin jadi akan kembali memakan korban.
Para pemimpin sebaiknya duduk bersama untuk menyelesaikan berbagai persoalan dengan lebih mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Para pemegang kebijakan harus lebih peka terhadap dinamika yang terjadi di masyarakat. Dengan begitu para elite akan lebih mudah dalam menyerap berbagai aspirasi, tanpa perlu melakukan tindakan represif.
Sesungguhnya adalah tidak logis, apabila para pemimpin bangsa begitu mudah tersinggung oleh kritik atau mungkin caci maki dari rakyatnya sendiri. Memang rakyat juga sepatutunya melakukan kritik dengan mengedepankan etika. Namun perilaku rakyat yang kadang dianggap berlebihan, sebagian besar memang disebabkan karena mengalami kebuntuan dalam menyalurkan aspirasi. Sering malah dianggap angin lalu. Mungkin karena itulah, maka caci maki kadang menjadi solusi, agar para pemimpin bisa mendengar kritik mereka.
Bahwa melakukan kritik adalah hak setiap, namun mengedepankan etika juga merupakan kewajiban yang sebaiknya tetap dilaksanakan. Dalam kondisi demikian, baik yang mengkritik maupun yang dikritik sebaiknya saling memahami posisi masing-masing. Selain saling mengkritik, mungkin sebaiknya semua elemen masyarakat dan para elite melakukan autokritik. Janganlah saling mempertahankan ego dan kepentingan masing-masing, tanpa mau brcermin pada diri sendiri.
Dalam era demokrasi sekarang ini, ruang-ruang kebebasan dalam mengekspresikan kegalauan dan memperjuangkan nasib rakyat memang sangat terbuka lebar. Dimana-mana di sudut negeri ini gairah untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah begitu mudah dilakukan.
Situasi ini tentu sangat jauh berbeda dengan situasi ketika masa Orde Baru masih berkuasa di bawah kendali Presiden Soeharto. Mungkin karena itulah juga, hampir setiap rakyat di republik ini seperti tiba-tiba memiliki keberanian untuk melakukan kritik. Keberanian yang pada masa Orde Baru hanya segelintir orang yang memiliki-nya, kini telah merasuk ke dalam diri hampir semua rakyat di republik ini.
Dalam situasi seperti ini, mungkin sebaiknya para pemimpin menyadari bahwa alam demokrasi sekarang ini telah melahirkan banyak orang-orang yang semakin kritis dan berani menyuarakan berbagai persoalan yang ada. Karenanya, segala kritik yang dilontarkan, sebaiknya disikapi dengan bijak. Bukankah sebagai penguasa, para pemimpin seharusnya memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya. Dan autokritik mutlak dilakukan.
Sungguh, bangsa ini jelas sangat membutuh-kan pemimpin yang mampu berfikir dan bersikap demokratis. Pemimpin yang mampu mendengar-kan bagaimana pun kerasnya kritik ataupun caci maki yang dilontarkan oleh rakyatnya. Sebab semua itu, insya Allah dilandasi oleh sebuah keinginan baik untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat di republik ini bisa semakin membaik.
Ya, bangsa ini butuh pemimpin yang mampu menunjukkan bobotnya sebagai seorang negarawan. Seorang pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya, sekaligus senantiasa melakukan kritik terhadap dirinya sendiri. Semoga reformasi yang telah berjalan hampir 14 tahun ini dapat melahirkan negarawan-negarawan yang mampu membuat bangsa besar ini benar-benar menjadi BESAR dan disegani.
Palopo, Januari 2012