Memotret Wajah Kepemimpinan, Mencari Pemimpin Menuju Indonesia EMAS
BAGAIMANA sesungguhnya potret kepemimpinan di republik ini? Sudahkah kita menemukan pemimpin yang benar-benar dibutuhkan rakyat di negeri ini? Pemimpin yang amanah dan mampu memegang tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Tulisan ini tidak untuk membandingkan bagaimana kepemimpinan masa rasulullah Muhammad SAW atau pada masa sahabat. Akan tetapi, mungkin kita perlu mencontoh, atau paling tidak merenungi apa yang telah dilakukan Umar bin Khathab pada masa kepemimpinannya.
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab yang menjabat sebagai amirul mukminin, dikisahkan, pada suatu malam beliau berkeliling kota dengan seorang pembantunya. Beliau ingin memastikan keadaan rakyatnya benar-benar dalam keadaan aman. Setelah berjalan sekian lama, ia merasa lega, karena ia tak menemukan kegaduhan atau apapun yang menunjukkan adanya ketidakbersan malam itu.
Akan tetapi, tidak berapa lama, rasa puasnya itu terusik tatkala menemukan sebuah rumah yang pintunya masih nampak sdikit terbuka. Keterusikannya semakin besar ketika ia mendengar suara anak yang sedang menangis. Suara itu terdengar lenguh. Setelah didkati dan masuk ke dalam sebuah rumah yang nampak raok, anak tersebut telah lama menangis hingga suaranya hampir habis karena lelah.
Melihat kondisi anak itu, Umar bertanya, “Apa yang menyebabkan anakmu menangis terus menerus, apakah sakit?” Ibunya menjawab bahwa anaknya tidak sedang sakit, akan tetapi ia menangis karena kelaparan.’
Mendengar jawaban itu, Umar terenyuh. Beliau pun meminta izin untuk masuk dan mendapati tungku perapian yang masih menyala dan di atasnya terdapat sebuah kuali yang menandakan si ibu sedang memasak sesuatu.
Melihat itu, Umar kembali bertanya, “Bukankah ibu sedang memasak sesuatu.” Namun sang ibu tidak menjawab, dan hanya mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk membuka sendiri kuali yang ada di hadapannya.
Betapa terkejutnya Umar melihat isi kuali yang sejak tadi dimasak oleh sang ibu. Cukup lama Umar terpana melihat isi kuali yang hanya diisi oleh sebuah batu. Keterkejutannya bertambah tatkala Umar mendengar alasan sang ibu merebus batu agar anaknya menghentikan tangisnya, sebab menganggap bahwa ibunya sedang memasak makanan.
“‘Hanya itu yang dapat saya lakukan sampai Anda datang untuk menghentikan tangis anak saya. Kendati ia kembali menangis, sebab sudah begitu lama saya memasak,” ucapnya.
Rasa sedih menggerogoti Umar. Beliau sangat terharu Umar mendengar ucapan perempuan di hadapannya. Beliau tertunduk dan menggeleng sedih. Melihat itu pembantu Umar segera berkata, “Tidakkah ibu tahu, jika di Madinah ada seorang amirul mukminin yang bisa ibu tempati mengadu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Mendengar itu, sang ibu langsung menjawab, “Seandainya pun di kota ini ada seorang seorang khalifah, ada seorang amirul mukminin, maka seharusnya dialah yang datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan ini. Bukan saya yang mesti datang kepadanya.”
Sungguh terpukul Umar bin Khathab mendengar ucapan perempuan itu. Beliau langsung lemas. Kedua kakinya seperti tak mampu lagi menopang beban tubuhnya. Karena merasa malu, beliau pun bergegas mengajak pembantunya untuk pulang dan mengambil sepikul gandum. Khalifah Umar yang sudah tua itu bahkan memikul sendiri gandum itu untuk dibawa ke rumah perempuan miskin itu. Bahkan ia pun melarang pembantunya yang ingin membantunya mengangkat gandum tersebut.
“Biarlah aku sendiri yang membawakannya, sebab akulah yang bertanggung jawab kepada Allah kelak atas kejadian ini. Bukan kau. Akulah yang akan ditanya di akhirat nanti.”
Apa yang bisa kita ambil dari perjalanan sahabat Nabi Muhammad di atas. Sekali lagi bukan bermaksud membandingkan dengan potret kepemimpinan di republik ini. Tetapi paling tidak apa yang terjadi dalam kisah di atas mampu memberikan kita pandangan lain yang mungkin sudah terlupakan dalam konsep kepemimpinan kita selama ini.
Kisah di atas merupakan cermin dari kekuatan nurani dan tanggung jawab seorang pemimpin, serta di sisi lain cerminan dari kekuatan harga diri rakyat yang tidak ingin dianggap pengemis. Rakyat yang miskin tetap memelihara prinsip untuk tetap menjaga harga diri dari meminta-minta.
Perempuan itu menunjukkan kepada kita bahwa rakyat harus tetap memelihara kehormatannya sebagai orang merdeka. Kendati mereka merupakan orang yang patut diberi, akan tetapi mereka pantang meminta demi kehormatannya. Perempuan itu pantang mengemis, sekalipun itu kepada penguasa yang memiliki kewajiban memberikan kehidupan yang layak kepada mereka. Atau paling tidak membangun iklim yang baik agar rakyatnya bisa mencari penghidupan yang layak.
Perempuan itu juga telah memperlihatkan kepada kita, sekalipun ia dalam keadaan miskin atau sedang dalam kelaparan yang parah, ia tetap pantang untuk meminta. Ia bahkan memberi kita perspektif lain dalam kepemimpinan, bahwa seharusnya pemimpinlah yang harus mendatangi rakyatnya yang miskin dan kelaparan. Karena itu merupakan kewajiban pemimpin kepada rakyatnya. Bukan mereka yang harus datang mengemis-ngemis.
Dan di sisi lain, Umar juga memperlihatkan kepada kita adanya kekuatan rohani dari seorang pemimpin. Beliau sangat menyesal dengan kelalaian yang dilakukannya dalam melayani rakyatnya. Beliau sungguh merasa bahwa terlaksananya kesejahteraan sosial itu tidak cukup diwakilkan kepada para pembantunya. Sebagai rasa tanggung jawabnya, ia sebagai pemimpin bahkan rela memanggul gandum untuk diberikan kepada rakyatnya.
Sungguh sebuah potret kepemimpinan yang patut diteladani saat ini. Di tengah-tengah hiruk pikuk degradasi kepemimpinan nasional, kita pantas dan harus bercermin pada kepemimpinan yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Salah satunya dari kisah di atas.
Demikianlah seharusnya para pemimpin itu bekerja dalam melayani rakyatnya. Mereka seharusnya tidak pernah kehilangan spirit untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sebuah diskusi tentang kepemimpinan, begitu banyak kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. Di samping sebagian sikap yang dimiliki Umar dalam kisah di atas, seorang pimpinan yang baik pada dasarnya juga harus mampu bekerja bersama dengan orang lain.
Hal ini berarti bahwa ia harus bekerja dengan kekuatan- kekuatan, kelemahan-kelemahan, kesanggupan, dan kekurangan-kekurangan dari orang lain. Seorang pemimpin akan menghargai perbedaan yang ada tersebut dan tidak akan mencoba untuk membentuk orang lain agar sesuai dengan keinginannya sendiri. Ia juga tidak memperalat bawahannya untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Ia harus sadar bahwa setiap orang memiliki andil terhadap hasil akhir dari suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama (teamwork).
Namun demikian, ini bukan berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai hati yang lemah dan menerima apa adanya. Ia juga harus mempunya standar kepemimpinan dan tujuan dari kepemimpinannya. Dengan demikian, ia akan melakukan seleksi yang baik terhadap orang-orang yang akan mendampinginya. Karenanya, untuk membangun bangsa yang besar ini, tentu dibutuhkan orang-orang yang memiliki kualitas dan kinerja yang baik untuk mencapai tujuan yang mulia.
Seorang pemimpin tentu juga dibutuhkan sebuah ketegasan dalam kepemimpinannya. Ia tidak boleh centangperenang dan larut dalam kebimbangan. Banyak yang bilang, seorang pemimpin harus serba hati-hati, itu benar. Namun jagan sampai karena kehati-hatian yang teramat besar, sehingga dalam mengambil keputusan malah menjadi sangat lambat.
Seorang pemimpin, disamping kesabaran dan ketabahannya untuk mencari pemecahan masalah, juga harus mampu untuk mengambil suatu keputusan dalam waktu yang cepat. Kendatipun mungkin hanya dengan menggunakan data atau informasi yang sangat minim, kurang lengkap atau masih kabur. Sebab tidak semua keputusan harus membutuhkan data yang banyak, akan tetapi ada keputusan yang harus segera dilakukan meski tanpa data yang banyak, sebab keputusan itu berburu dengan waktu. Tentu ia harus sanggup untuk mengambil dan memikul resiko yang sudah diperhitungkan olehnya.
Peter Drucker pernah menyatakan bahwa masa depan tidak pernah ada kepastian, tetapi hanya ada kemungkinan-kemungkinan. Karenanya, seorang pemimpin harus belajar menerima hal ini. Ia harus mampu membuat keputusan-keputusan berdasarkan perkiraan-perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan terbaik yang dapat diperoleh, sebab ia harus menyadari bahwa jika menunggu untuk memperoleh kepastian yang menyeluruh, maka kemungkinan keputusan yang diambil akan terlambat.
Akhir-akhir ini, kepemimpinan nasional di republik ini semakin sering dipertanyakan. Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di beberapa daErah dan dimuat di harian KOMPAS (15 Februari 2012) beberapa kriteria kepemimpinan nasional pun diuraikan. Dari segi ideologi, seorang pemimpin harus memahami dan menjalankan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Seorang pemimpin juga harus memiliki pandangan dan tindakan hanya pro terhadah HAM dan pluralisme.
Jika dilihat dari kapabilitas, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan dan kecakapan yang baik. Ia juga harus mampu menjadi pemimpin dalam hal pemikiran, memahami dan memiliki kemampuan manajerial yang baik. Dan tentu saja harus memiliki wawasan dan memahami politik luar negeri, sehingga bangsa Indonesia mampu memposisikan diri dengan baik di depan bangsa-bangsa lain.
Dari segi visi, seorang pemimpin haruslah memiliki visi terhadap bangsa ini, baik dalam konteks kecintaan yang luar biasa terhadap bangsa Indonesia, mampu menginspirasi, progresif, maupun kemamampu menjadi pendobrak bagi perubahan untuk menjadi lebih baik. Tentu saja ia harus memiliki sifat kerakyatan dan tidak kapitalistik.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek moralitas. Aspek merupakan hal yang senantiasa menjadi persoalan besar bagi kepemimpinan bangsa ini. Sejak masa reformasi, aspek moralitas dari kepemimpinan senantiasa menjadi sorotan. Karenanya, ini sangat penting dalam memotret kepemimpinan di Indonesia. Seorang pemimpin harus memiliki integritas dan akhlak yang baik. Ia juga harus berani mengambil resiko, konsisten, disiplin, tegas dan kuat dalam kepemimpinannya, serta mampu menumbuhkan optimisme yang realistis terhadap perkembangan bangsa.
Bagaimana pun, diakui atau tidak, kepemimpinan di republik ini telah mengalami krisis. Berbagai kasus yang menimpa para pemimpin bangsa ini telah memberikan kita gambaran yang jelas tentang potret kepemimpinan di republik ini.
Sungguh ironis memang, jika bangsa yang besar ini, dengan jumlah penduduk yang mencapai 200 juta jiwa, harus mengalami krisis kpemimpinan. Begitu banyak potensi bangsa ini yang bisa dimanfaatkan untuk membangun sebuah kekuatan baru, utamanya dari generasi muda. Memang, diakui atau tidak kepemimpinan muda di Indonesia tengah mengalami persoalan besar. Lagi-lagi mereka terbentur pada persoalan moralitas.
Lalu, mungkinkah kita akan mendapatkan pemimpin yang benar-benar dibutuhkan untuk membangun bangsa yang besar ini? Semoga!
Palopo, Februari 2012
****
Bagi yang berminat mendapatkan buku-buku menarik, silakan download GRATIS di SINI.
- Ayat-ayat Semesta, Sisi-sisi Al-Qur'an yang Terlupakan - Pustakawan Menulis
- Sejarah Puasa dalam Islam - Pustakawan Menulis
- Sejarah Para Khalifah, Menguak Jejak Khalifah yang Mendunia - Pustakawan Menulis
- Ramadhan Bersama Nabi, Panduan Puasa, Shalat Tarwih, Lailatul Qadar, I'tikaf dan Dzikir Ramadhan
- Kitab Ihya’ Ulumiddin, Karya Monumental Imam Al Ghazali (Jilid 1, 2, 3 dan 4) - Pustakawan Menulis
- Kerancuan Filsafat, Imam Al Ghazali (Sang Penyembelih Ayam Bertelur EMAS) - Pustakawan Menulis
- Sejarah Kudeta Mekkah, Misteri yang Tak Terkuak - Pustakawan Menulis
***
Cek Nama Honorer yang Akan Diangkat Jadi ASN PPPK 2023 - Pustakawan Menulis
Rekrutmen BUMN Dibuka 11 Mei, Ini Syarat dan Cara Pendaftarannya - Pustakawan Menulis
Rekrutmen Bersama BUMN 2023, Ini Syarat dan Dokumen yang Harus Disiapkan - Pustakawan Menulis
Rekrutmen Bersama BUMN 2023, Ini Tata Cara dan Alur Pendaftaran - Pustakawan Menulis
Daftar Posisi untuk Lulusan S1/Diploma IV dalam Rekrutmen Bersama BUMN 2023 - Pustakawan Menulis