Menengok Wajah Pendidikan Kita, Menuju Indonesia EMAS
Setelah kemerdekaan hampir 67 tahun lalu, Indonesia masih terus dirundung masalah di bidang pendidikan. Memang Indonesia mempunyai problematika pendidikan yang berbeda dengan negara-negara lain, baik itu dilihat dari sejarah lahirnya bangsa ini, luas wilayah, dan besarnya jumlah penduduk.
Karenanya, untuk menvonis kegagalan pendidikan di Indonesia dengan menggunakan parameter negara lain, memang tidaklah adil. Akan tetapi, jika melihat perkembangan bangsa lain yang sebelumnya masih tertinggal dari bangsa Indonesia, maka cukup layak juga untuk mempertanyakan ada apa dengan bangsa yang besar ini.
Tentu saja, untuk mengukur sukses atau gagalnya sistem pendidikan nasional di republik ini harus dilakukan secara menyeluruh. Evaluasi haruslah dilakukan mulai dari payung hukum berupa UUD 1945, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan berbagai peraturan di bawahnya sampai peraturan daerah, terlebih bagaimana aplikasinya pada tingkat sekolah.
Bukan hanya itu, permasalahan dunia pendidikan ini juga perlu diurai mulai dari yang menyangkut good will pemerintah dalam melaksanakan amanat UUD 1945, hingga pada berbagai peraturan di bawahnya. Termasuk juga pada penerapan kurikulum, kualitas guru, kondisi siswa, peran serta orang tua dan masyarakat dalam menyukseskan program pendidikan yang berkualitas.
Tentu saja pada masing-masing aspek pendidikan tersebut memiliki permasalahnya sendiri. Akibat kompleksitas permasalahan itu, maka setiap item persoalan yang ada harus diurai satu-persatu. Dengan demikian, akan dapat ditemukan solusi untuk masing-masing persoalan yang ada.
Untuk mewujudkan dan mempercepat proses perbaikan pendidikan tentu harus dimulai dari iktikad baik para pengambil keputusan (stake holders). Mereka memiliki peran yang sangat penting bagi perbaikan pendidikan di tanah air. Karena keputusan yang mereka hasilkan merupakan hulu dari mengalirnya perbaikan sistem dan praktik pendidikan di republik ini.
Jika menilik dari keputusan MPR dalam UUD 1945 (hasil amandemen) yang menetapkan anggaran sebesar 20% dari APBN/APBD, tentunya memberikan angin segar bagi masa depan pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih baik. Hanya saja memang, pada tingkat implementasi di lapangan selalu saja ada kendala, baik dari interpretasi yang salah, maupun pada tingkat pelaksanaan. Hal yang biasa terjadi juga yakni ketika dijabarkan dalam APBD Provinsi maupun APBD Pemkot/Pemkab, persentase anggaran untuk bidang pendidikan tidak sebesar yang ditetapkan UUD 1945.
Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional.
Di Indonesia, komitmen itu sangat jelas terlihat dalam Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945. Di situ dinyatakan, “… Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” jelaslah bahwa pendidikan ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ merupakan salah satu dari tujuan bangsa ini.
Keseriusan dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa dalam bentuk perbaikan mutu pendidikan diurai pula dalam pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan tegas disebutkan bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal sebesar 20 % diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dengan konsep ideal yang digambarkan dalam UUD 45 tersebut, sudah dapat diharapkan penyelenggaraan Pendidikan Nasional dapat berjalan dengan baik. Dengan sokongan dana yang cukup besar, tentulah kebutuhan dana untuk menyelenggarakan pendidikan dengan baik akan mudah dilaksanakan.
Akan tetapi dalam realitas, implementasinya justru mengatakan lain. Begitu banyak kasus penyimpangan anggaran yang terjadi. Selain karena korupsi, alokasi dana juga kadang tidak tepat sasaran. Belum lagi pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota tidak mampu memenuhi 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan. Secara riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN. Itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin, seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan.
Maka yang terjadi adalah masih banyaknya anak-anak yang harus putus sekolah karena tidak ada biaya. Sekolah-sekolah juga masih banyak yang tidak dibenahi. Bangunan sekolah yang reok, sekolah yang runtuh, menjadi pemandangan yang masih terjadi di beberapa daerah di republik ini. Belum lagi kurangnya fasilitas di setiap sekolah. Padahal begitu banyak program pemerintah yang seharusnya dapat menjadikan pendidikan bisa semakin baik.
Kenyataan tersebut menjadi indikasi jika keberlangsungan Pendidikan Nasional masih berjalan lamban dan menemui berbagai kendala. Secara sederhana persoalan Pendidikan Nasional di negera ini dapat diuraikan dalam tiga pokok permasalahan.
Pertama, adanya persoalan komitmen dari kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Komitmen pemerintah dalam hal ini masih diragukan, untuk tidak mengatakan tidak bisa dipercaya. Kenyataan komitmen alokasi anggaran 20% belum berjalan dengan baik. Itupun dalam penerapannya sering terjadi penyimpangan dan tidak tepat sasaran.
Kedua, ada persoalan visi Pendidikan Nasional yang perlahan-lahan memasuki wilayah kapitalisasi pendidikan. Dengan kondisi ini tentu memperlihatkan adanya visi pendidikan yang belum berpihak pada orang-orang miskin, rakyat jelata (grass root). Jika persoalan ini terus berlarut-larut, maka orang miskin sangat sulit untuk mendapatkan sekolah dan pendidikan yang baik. Tentu saja yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki uang (the have). Jika pun ada sekolah untuk orang miskin, mungkin sekolah-sekolah itu adalah sekolah yang sudah reok, hampir roboh dan dengan fasilitas yang super minim.
Ketiga, belum munculnya kesadaran terhadap pentingnya pendidikan di kalangan masyaralat. Kesadaran yang dimaksud adalah sebuah ‘kesadaran kritis’ (critical consciousness). Dengan kesadaran kritis ini masyarakat diharapkan memiliki keberanian untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukankah negara telah menjamin itu.
Penyelenggaraan pendidikan bermutu di Indonesia memang harus terus dibenahi. Beberapa persoalan dasar yang dikemukakan di atas merupakan rumusan persoalan sederhana yang harus segera dibenahi. Sebab masih banyak persoalan lainnya yang berkaitan masalah-masalah teknis yang tentu telah melibatkan para pendidik.
Penyelenggaraan Pendidikan Nasional bagaimana pun harus menjadi prioritas dalam membangun bangsa. Dan yang terpenting adalah bagaimana pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Dan negara harus menjamin itu.