Menonton ‘Katanya’ Demokrasi
Kebebasan memang menjadi hal yang penting dan mungkin harus diperjuangkan dalam sistem bernegara kita. Namun dari semua itu, persoalan etika adalah sesuatu yang sangat penting dikedepankan. Sebab, tak ada kebebasan mutlak di dunia ini. Semua akan selalu terikat pada sesuatu di luar diri manusia. Bahkan menurut Erich Formm, dalam bukunya Escape from Freedom, bahwa pada ujung pencarian manusia atas kebebasan, mereka akan tetap berada dalam lingkaran keterikatan. Tak ada manusia yang mampu bebas secara mutlak. Bahkan mereka pada akhirnya akan lari dari kebebasan.
Begitulah negara kita yang sudah merasakan ‘katanya’ kebebasan sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak keruntuhan kekuasaan Soeharto, rakyat Indonesia telah merasa kebebasan yang selama ini begitu sulit diperoleh pada masa penguasa Orde Baru. Begitu sulitnya menemukan kebebasan, hingga harus ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali mahasiswa dan rakyat harus turun ke jalan untuk mendapatkannya.
Dan jatuhnya Soeharto dianggap sebagai momen penting bagi sebuah kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Tapi benarkah kebebasan dalam kehidupan politik dan bernegara telah didapatkan? Benarkah kebebasan telah ditempatkan pada porsinya? Benarkah kebebasan berarti hidupnya demokrasi di Indonesia?
Realitas di tengah-tengah masyarakat ternyata belumlah seperti yang diharapkan. Euforia kebebasan ternyata menyisakan sesuatu yang malah menyimpang dari hakikat pencarian selama ini. Kebebasan berpolitik dan bernegara tidaklah berada dalam rel yang sesungguhnya. Semua berjalan semau penguasa dan pemilik modal. Demokrasi liberal, demokrasi yang ditopang oleh modal yang besar menjadi panglima dalam brdemokrasi di republik ini.
Demokrasi kita mungkin sedang sakli. Mungkin kaget oleh kemunculannya yang tiba-tiba sehingga rakyat kita jadi gagap. Sehingga setiap orang merasa dialah yang paling demokratis. Demokrasi dianggap sebagai arena untuk menyampaikan segala persoalannya tanpa memandang lagi bagaimana cara menyampaikannya.
Demokrasi kita sakit? Ya, mungkin sakit, sebab demokrasi telah dianggap sama dengan demonstrasi. Dan demonstrasi juga telah dianggap sama dengan pengerahan massa. Tidak peduli apakah itu massa yang dibayar, dipaksa atau pun terpaksa. Padahal, bukankah ketika pengerahan massa diartikan sama dengan demonstrasi, maka pada saat itu juga kita telah menabuh genderang kematian bagi demokrasi itu sendiri.
Saat ini, dimana-mana begitu gampang melakukan demonstrasi. Persoalan sedikit saja, maka demonstrasi menjadi jalan keluarnya. Setiap orang merasa berhak untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai cara tanpa memperdulikan bagamana cara penyampaiannya. Mereka tidak peduli lagi dengan etika. Mereka tidak peduli lagi dengan adanya kedaulatan lembaga. Mereka sadar atau tidak telah melakukan desakralisasi terhadap lembaga publik yang seharusnya dijunjung tinggi.
Satu-satunya aspek demokrasi yang masih enak dipandang dalam setiap demonstrasi adalah adanya kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Di luar dari itu yang kita saksikan, hanyalah paradoks besar dari hakikat demokrasi. Demokrasi menjadi bahan lelucon yang setiap saat dapat ditertawai.
Lembaga menjadi wahana yang disepelekan dan dianggap tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan ritual dari proses demokrasi. Para pemimpin sepertinya tidak lagi mengerti atau mau mengerti dan mampu membedakan mengenai kedaulatan lembaga dan kedaulatan diri. Mereka seperti tidak sadar jika lembaga memiliki kelanggengan otoritas, sementara individu tidak. Mereka sepertinya juga tidak menyadari jika individu harus tunduk pada kedaulatan lembaga. Karena demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mengedepankan supremasi lembaga daripada supremasi individu. Para elite malah berusaha menjelak-jelekkan ‘mendesakralisasi’ lembaga negara yang seharusnya dijaga dengan baik.
Begitulah yang terjadi di republik ini. Lembaga penegakan hukum yang merupakan salah satu dari pilar demokrasi dan trias politica (eksekutif, yudikatif dan legislatif) menjadi kehilangan kesakralannya. Begitu pula dengan lembaga lainnya. Saling serang antara lembaga sering terjadi.
Tontonan demokrasi yang diperlihatkan oleh para elite di negeri ini sesungguhnya adalah tontonan yang memilukan. Begitu banyak hal yang seharusnya dibenahi dalam tatanan berdemokrasi di negara ini. Saling serang antara lembaga dan antara individu dalam sebuah lembaga yang seharusnya mengayomi dan memperlihatkan etika politik yang baik seharusnya segera dihentikan.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana institusi kepolisian saling serang dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Istilah ‘cicak’ dan ‘buaya’ menjadi perbincangan hanya di setiap media. Sungguh memilukan tontonan yang diperlihatkan oleh para elite dalam institusi penegakan hukum. Inikah yang disebut ‘katanya’ demokrasi di Indonesia?
Entahlah, apakah lembaga-lembaga itu ingin meperlihatkan kesakralan dan otoritas lembaganya? Ataukah lembaga-lembaga itu ingin memperlihatkan bahwa mereka memiliki kekuatan yang lebih hebat dari lembaga-lembaga lainnya? Setiap lembaga di era reformasi ini seolah menjadi narsis. Dan masyarakat yang menjadi penontonnya pun ikut-ikutan melakukan desakralisasi terhadap lembaga-lembaga negara.
Lembaga legislatif juga memperlihatkan hal yang sama. Berbagai kecurangan terjadi di lembaga penyelenggara pemerintahan ini. Di berbagai lembaga pemerintah kasus penyelewengan terjadi. Dan akibatnya rakyat pun melakukan perlawanan. Beberapa kasus pengrusakan kantor pemerintah menjadi tontonan ‘katanya’ demokrasi yang memilukan.
Bukan hanya di kedua lembaga itu, hal ini juga terlebih terjadi di lembaga eksekutif. Lembaga ini seperti telah kehilangan power bahkan telah menjadi cemoohan masyarakat yang selama ini memilih mereka untuk duduk sebagai wakil rakyat. Beberapa tahun terakhir ini tontonan memilukan terus diperlihatkan oleh orang-orang yang duduk di lembaga ini. Sungguh tontonan yang tidak patut diperlihatkan dalam proses membangun dan menata kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Sungguh, sebagai lembaga yang mendukung kehidupan demokrasi di republik ini, seharusnya orang-orang yang duduk di dalamnya mampu menjaga kesakralan lembaga yang menaunginya. Tidak hanya karena ambisi pribadi, kelompok atau partai partai politik, membuat mereka lupa diri dan semakin menjauhkan diri dari etika dan moralitas.
Sepertinya kita memang wajib meratapi nasib bangsa ini. Mungkin begitu tragis. Reformasi mungkin terlalu cepat mati di negeri ini. Dan ritual demokrasi yang dipertontonkan menjadi semacam optimalisasi kebodohan atau pembodohan dari sekian banyak elite politik dan birokrasi di republik ini.
Wajah perpolitikan kita mungkin telah kehilangan hal yang mendasar yakni etika dan moralitas. Kalau tidak ada aturan, setiap orang selalu merasa boleh melakukan apa saja. Itulah mungkin yang menyebabkan demokrasi selalu mati muda di negeri ini. Dan masyarakat senantiasa dipertontonkan kehidupan yang ‘katanya’ demokratis. Sungguh memilukan!