Sebuah Kereta Untuk Bayi
Cerpen Idwar Anwar
Setiap hari kerjamu hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Apa tidak bisa cari kerjaan lain yang bisa menghasilkan uang?” Cerocos istrinya suatu hari. Tang hanya melongo menyaksikan gerak ritmis bibir istrinya yang mancung. “Indah sekali bibir istriku kalau sedang berkicau seperti itu.” Matanya menatap penuh birahi. Di sudut bibirnya, selarit guratan senyum terselip.
Melihat suaminya hanya tenang-tenang saja, perempuan itu pun menambah volume suaranya. “Apa tidak ada kerjaan lain? Beras sudah hampir habis. Utang di warung Daeng Tima sudah menumpuk.” Suaranya benar-benar menggelegar menggetarkan dinding-dinding rumah yang terbuat dari gamacca. Bahkan suara itu telah menyusup ke rumah-rumah tetangga, dan mengusik ketentraman gendang telinga mereka di hari yang masih pagi.
Para tetangganya pun hanya melongo sejenak, lalu kembali masuk setelah mereka mendengar bunyi dentingan panci, piring dan benda-benda lainnya saling bersahutan di antara kicauan bibir istri Tang. Setelah itu mereka kembali meneruskan aktifitas, sembari mengangkat bahu.
Dan seperti biasanya, Tang hanya termangu menatap wajah perempuan itu yang nampak begitu beringas. Sambil tersenyum cengengesan, Tang terus melanjutkan menghirup kopi yang tersedia di atas meja. “Kopi buatanmu nikmat sekali, Nur!” Ia menghirup kopinya dengan mata terpejam. Suara desit begitu jelas terdengar.
Menyaksikan tingkah suaminya yang seperti tanpa beban itu, ia pun berlalu dengan bibir komat-kamit. “Dasar!” Hanya itu yang sempat terdeteksi di telinga Tang, yang memang sedang berkonsentrasi dengan kopi dan sebatang rokok yang terselip di antara jemarinya.
Sejak Tang di PHK dari pabrik tempatnya bekerja selama 3 tahun dengan sedikit pesangon, dua bulan yang lalu, hari-harinya kebanyakan hanya dihabiskan di rumah. Selama itu pula, istrinyalah yang membiayai kehidupan keluarga. Setiap pagi, istrinya harus berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasa mencuci pakaian. Dengan cara seperti itulah kebutuhan keluarga mereka sedikit tertutupi.
Pekerjaan memang begitu sulit dicari. PHK besar-besaran terjadi di mana-mana. Korban pun berjatuhan. Dan yang paling merasakan pedihnya PHK adalah buruh-buruh kecil yang diberi pesangon seadanya. Beberapa teman Tang pun mengalami hal serupa. Itulah yang membuat dirinya malas ke luar rumah mencari pekerjaan.
“Ayo, mandi dan keluar! Di luar, kamu bisa melihat atau berpikir, pekerjaan apa yang dapat dikerjakan. Dari pada hanya tinggal di rumah.”
Tang kembali termangu. Ditatapnya wajah perempuan yang setahun lalu dinikahinya itu. “Kamu semakin cantik kalau sudah mandi.” Mata Tang semakin membesar dan bibirnya menjuntai lebar, seolah sedang menyaksikan pemandangan yang luar biasa.
“Ayo cepat! Jangan merayu seperti itu!” Nur melengos dan berlalu ke dalam kamar. Tang mengikuti langkah istrinya. Setelah sampai di dalam kamar, ia pun dengan sigap menyergap pinggang istrinya dari belakang dan mendekapnya dengan lembut.
Nur mengibaskan tangan suaminya. “Sudah. Sudah. Ayo mandi dan keluar. Siapa tahu di luar nanti kamu bisa mendapat pekerjaan. Atau paling tidak informasi tentang pekerjaan.”
Tangan lelaki itu malah semakin kuat mencengkeram. Bagai kuku-kuku rajawali, ia benar-benar tak ingin melepaskan tubuh istrinya. Hingga handuk yang melilit di tubuh Nur, hampir saja terlepas.
“Sudah! Sudah! Aku mau keluar. Siapa tahu banyak yang ingin mencuci pakaiannya. Dan kita bisa memperpanjang kepulan asap di dapur. Beras sudah hampir kosong.” Ia kembali meraih jamari suaminya dan perlahan melepaskan dari pinggulnya.
“Iya. Iya. Tapi jangan marah-marah terus. Ayo, senyum, sayang. Meski tak ada yang dimakan yang penting senyum.” Tang membalik tubuh Nur, lalu tersenyum. Perempuan itu pun akhirnya tersenyum. Giginya yang besar-besar tersembul.
“Nah, kalau tersenyum seperti itu, kau
nampak cantik sekali.” Dipeluknya tubuh perempuan yang telah menemaninya
selama setahun itu dengan mesra. Mereka pun melayang bersama hembusan angin
pagi yang masih menyisakan dingin.
***
Sinar pagi semakin menyengat. Nur bergegas ke luar, setelah kembali membersihkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang tadi tak sempat dipakainya. Tubuhnya bergerak gesit di antara angin yang berdesir kencang. Ia langsung menuju ke rumah-rumah langganannya. Sebuah kompleks perumahan yang cukup elit yang tidak terlalu berjauhan dengan tempat tinggalnya. Bertumpuk-tumpuk pakaian telah menunggu.
Tang masih terbaring. Tubuhnya lenguh. Diraihnya sarung, yang tadi dikenakannya, dari lantai, lalu dililitkan di pinggangnya sembari melangkah ke luar kamar. Ia kembali terduduk. Di hadapannya segelas kopi yang tinggal setengah masih terhidang. Diraihnya sebatang rokok dan menyulutnya. Dihisapnya perlahan. Begitu khusuk. Hembusan asapnya mengepul memenuhi ruangan. Berkali-kali. Berbatang-batang rokok melayang, menyisakan asap, lalu amblas ke dalam asbak.
Hampir setiap hari, peristiwa itu berlangsung. Dan hampir setiap hari pula, gerak indah bibir istrinya menghiasi. Orkestra tanpa partitur yang bersumber dari piring, panci atau benda-benda di dapur lainnya mengiringi kicau Nur di pagi hari. Siang atau malam peristiwa itu biasa pula berlangsung. Namun semuanya sering berakhir ketika Tang melingkarkan tangannya di pinggul istrinya. Yang tersisa hanya kedamaian.
***
Lalu saat senja merah darah. Langkah gontai Nur menyusuri lorong-lorong terdengar di kejauhan. Keringat di dahinya mengucur deras. Matahari yang memar menyisakan suara-suara serangga malam yang saling bersahutan. Ilalang tertidur, tersapu langkah kakinya yang bergegas meninggalkan gemeresek.
Lampu-lampu di rumah-rumah penduduk mengerjap-ngerjap di kejauhan. Cahaya bulan temaram menyorot kegelapan yang ditinggalkan matahari. Di tangannya sebuah kantong plastik menggeresek saat beradu dengan betisnya. Burung-burung yang bergegas pulang melintas di cakrawala.
Matanya menatap di kejauhan. Cahaya lampu di rumahnya mengerjap-ngerjap di antara dedaunan pohon yang tumbuh di halamannya. Dilihatnya seorang lelaki sedang duduk di beranda. “Pasti suamiku,” pikirnya. Ia pun semakin mempercapat langkahnya. Seperti biasa Tang, jika kegelapan mulai menggelayut, ia duduk di beranda menanti istrinya.
“Bagaimana rejekimu hari ini?” Lelaki itu menyambut istrinya dengan senyum.
“Lumayan. Banyak yang ingin dicucikan pakaiannya. Dan ini, saya juga membawa sesuatu. Kebetulan tadi ada orang yang aku cucikan pakaiannya memberikan sedikit makanan.
“Syukurlah. Ayo masuk, kamu pasti lelah sekali. Aku pijat, ya.” Perempuan itu hanya mengangguk dan terus melangkah, saat tangan suaminya melingkar di pinggangnya.
“Bagaimana, kamu sudah dapat pekerjaan. Atau paling tidak informasi tentang pekerjaan?”
Tang seketika tergeragap. Sejenak ia terdiam. “Hari ini aku tidak ke luar rumah.”
“Haa…! Jadi… seharian kamu hanya tinggal nongkrong di rumah!” Matanya terbelalak. Perempuan itu meronta dan berusaha melepas rangkulan tangan suaminya.
“Kamu benar-benar menyebalkan!” Dilemparkannya kantong plastik yang berada di tangannya dan menghambur ke dalam kamar. Tubuhnya yang tertelungkup di atas ranjang terguncang menahan tangisnya. Isaknya terdengar lirih.
“Sudahlah. Besok aku akan ke luar mencari pekerjaan. Aku janji.” Dibaliknya tubuh istrinya. Lalu ia mencium wajahnya dengan lembut. Ada bau kurang sedap melintas di lubang hidungnya. Tapi ia benar-benar menyayangi perempuan itu, meski mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
“Aku janji, besok aku akan ke luar mencari pekerjaan.” Suara isak masih terdengar dari bibir istrinya.
“Tapi, kamu selalu berjanji seperti itu. Sudah dua bulan lebih, kamu tidak kerja.” Pandangannya hinggap di wajah Tang. Matanya masih sembab, ”Kehidupan kita semakin terpuruk. Kita tidak bisa terus mengandalkan hasil mencuci pakaian. Sedang uang pesangon dari perusahaan tempatmu bekerja dulu, hanya cukup untuk dipakai selama sebulan. Itupun sudah digunakan dengan irit.”
Diraihnya kepala perempuan itu dan membelai rambutnya. “Sudahlah! Aku janji!”
“Uakk. Uakk.” Tiba-tiba perutnya mual dan perempuan itu seketika muntah. Tang yang tak menyangka istrinya akan muntah, tergeragap. Namun dengan cekatan, ia mengambil ember, lalu memijat-mijat bahu perempuan itu.
“Istirahatlah. Kamu pasti lelah sekali.” Diraihnya segelas air putih dan memberikan pada istrinya. Perempuan itu pun meneguknya perlahan. “Sudahlah. Kamu tidak perlu lagi marah-marah. Setiap hari kamu selalu marah. Kamu pasti capek. Bibirmu juga pasti pegal kalau berkicau terus. Bisa-bisa nanti keseleo.”
Mendengar suaminya berkata seperti itu dengan mimik serius, tawa perempuan itu pun meledak. Melihat istrinya tertawa, Tang terkejut. Lalu, suara tawa pun menggelegar dari mulutnya.
Di luar, cahaya bulan tak lagi redup. Dedaunan yang memantulkan sinarnya meliuk diterpa angin. Tak sepotong awan pun yang merangkulnya. Namun di dalam sebuah kamar yang sempit, sebuah tangan kekar telah mendekap seorang perempuan. Tubuh mereka menyatu. Dan saat itu pula Tang merasa ada sesuatu yang aneh pada tubuh istrinya.
***
Tak seperti biasanya, pagi benar-benar indah. Suara kicau bibir Nur tak lagi terdengar. Semuanya telah diganti oleh kicauan burung yang bertengger di dahan pohon depan rumah mereka. Dan orkestra tanpa partitur yang bersumber dari dentingan piring, panci dan barang-barang lainnya, seolah buyar oleh angin pagi yang menyisakan dingin. Tak ada lagi desah nafas panjang para tetangga serta bahu yang terangkat.
Pagi-pagi sekali, setelah menghirup segelas kopi dan menghabiskan sebatang rokok, Tang bergegas ke luar. Istrinya dengan wajah cerah mengantar kepergian suaminya. Segunung harapan terpahat di dadanya. Tak lama berselang, setelah membersihkan rumah, ia pun bergegas ke luar menyusuri lorong-lorong dan hinggap di antara tumpukan cucian yang menanti.
Setiap hari perempuan itu melakukannnya, hingga senja merah darah di kaki langit. Dan cahaya bulan temaram, sesekali hilang dalam bayang-bayang awan. Ia lalu bergegas dengan langkah gontai menyusuri lorong-lorong. Cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk mengerjap di kejauhan. Nafasnya terengah, tubuhnya bersimbah keringat. Kelelahan nampak menggelayut di bola matanya.
Gemerusuk dedaunan tertiup angin. Bayangan pohon-pohon rebah, lalu perlahan menghilang. Gemeresik rumput terdengar samar. Langkahnya terus terayun. Dan ketika sampai di depan rumahnya, ia tertegun. Terlebih ketika masuk. Dilihatnya ruangan begitu bersih. Dan di atas meja makan, sebuah hidangan yang selama ini hanya ada dalam angannya, tersaji.
Matanya seketika sembab. Ia begitu terharu membayangkan perjuangan suaminya untuk mendapatkan pekerjaan. Nur pun lantas bergegas ke dalam kamar dan menemukan suaminya sedang tertidur pulas. Dibelainya lelaki pujaannya itu dengan mesra, seakan ingin membuatnya semakin terlelap.
Namun, Tang malah tersentak. Matanya mengerjap-ngerjap. Dilihatnya sosok istrinya duduk di tepi pembaringan. Dengan cepat ia pun mengusap-usap matanya dan bangkit. “Ada apa. Kok kamu menangis?”
Perlahan Tang mendekap istrinya, lalu tangannya yang kekar membelai rambutnya. Di dadanya, wajah perempuan itu berlinang air mata. “Tenang sayang. Jangan bersedih seperti ini.”
“Maafkan aku, jika selama ini selalu memaksamu untuk mencari pekerjaan. Ini untuk kebaikan keluarga kita.”
“Aku tahu. Coba lihat di sebelah sana!”
Matanya segera mengekori arah telunjuk suaminya. Di sudut kamar, sebuah kereta kecil dan beberapa pakaian bayi tergeletak di atasnya. Nur tersentak. Perlahan ia merabah perutnya. Lalu pandangannya beralih ke wajah suaminya. Seakan tak percaya.
“Hari ini aku dapat perkerjaan. Jadi sopir pribadi seorang direktur sebuah perusahaan besar. Sebelum aku diterima, kami berbicara panjang lebar. Dan tak lupa aku juga menceritakan tentang pekerjaan dan kehamilanmu. Lalu ia memberikan sebuah kereta bayi lengkap dengan baju-bajunya, serta uang. Sebenarnya aku enggan menerimanya, sebab aku belum bekerja apa-apa. Tapi ia memaksaku, hingga akhirnya aku dengan berat hati menerima. Kita toh memang perlu.”
Perempuan itu hanya terdiam. Bibirnya terkatup. Matanya kembali sembab. Ia menangis. Sebuah kebahagian tiba-tiba membungkus kesadarannya. “Jadi…, apa aku hamil? Kita akan punya anak? Kereta itu...kereta itu untuk bayiku?” Dipeluknya tubuh suaminya begitu erat.
“Ya. Kereta untuk bayi kita.” Tang membalas pelukan perempuan yang begitu dicintainya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Bayangan wanita setengah baya yang dirampoknya siang tadi, terlintas dibenaknya. Ia kembali mendesah. Begitu berat.
“Ah…semoga saja ia tidak mati,”
Makassar, 7-14 April 2001
Catatan : Gamaccaq adalah dinding yang terbuat dari pelepah sagu atau bambu yang dianyam.
Daeng merupakan panggilan orang yang dihormati dan dituakan dalam masyarakat Bugis-Makassar.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Fajar