Singa Betina dari Timur (Review Novel Sejarah Idwar Anwar: OPU DAENG RISAJU)
“JIka hanya karena darah bangsawan mengalir dalam tubuhku, sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku (aktivitas), irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya Datu (Raja) dan Hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”
Ini cetusan sikap Famajjah (1880-1964), yang kelak dikenal dengan nama Opu Daeng Risaju. Ia wanita pertama di Indonesia yang dipenjara karena aktivitas politiknya melawan penjajah. Tahun 2006, Presiden SBY menganugrahinya pahlawan nasional.
Generasi milineal masa kini lebih mengenal RA Kartini (lahir tahun 1879) di Jawa. Atau Cut Nyak Dien (lahir tahun 1848) di Aceh.Tapi dari timur, Sulawesi Selatan juga melahirkan singa betina: Opu Daeng Risaju. Hingga usia sepuh, ia terus berjuang, walau disiksa fisik dan batin. Walau, Ia berulang-ulang dipenjara. Walau gelar kebangsawanannya dicopot. Walau, ia harus berpisah dari suami.
Dalam usia di atas lima puluhan, ia pernah ditangkap dan dipaksa berjalan sejauh 40 kilometer, dari desaLa Tonre hingga Watampone. Dalam usia tua, Ia pernah disiksa harus lari mengelilingi lapangan besar. Satu jam ia dipaksa berdiri menatap terik matahari.Lalu di dekat telinganya, diledakkan senjata api. Ia pun terjatuh pingsan. Ketika terjaga, telinganya tuli.
Di tahun 1927, di usia 47 tahun, ia aktif di PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia) di pare-pare. Tiga tahun kemudian, di tahun 1930, dalam usia 50 tahun, Ia menjadi ketua PSII di kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Dalam kultur masyarakat era itu, ketika wanita masih menjadi warga kelas dua, Opu Daeng Risaju, tampil ke muka. Ia tak hanya aktif di ruang publik, tapi ikut pula berjuang, memberontak terhadap penjajah.
Berbagai cara dilakukan penjajah untuk menghentikan langkah Risaju. Ia dipaksa menghentikan aktivitasnya di partai. Ia disiksa agar tak lagi menghasut rakyat melawan penjajah.
Ia dipenjara. Gelar kebangsawanannya dicopot. Tapi Risaju terus menerjang. Ia terus pula berjuang walau harus berpisah dengan suami.
Ia sangat teguh dalam agama. Ujarnya, “Selama saya masih mengucapkan kalimat Syahadat, selama itu saya tidak akan keluar dari organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia. Apa yang saya lakukan di mana-mana selama ini hanyalah perintah Tuhan, Amar Ma’ruf Nahi Munkar.”
Di tahun 1953, Ia pernah dikirim Kahar Mudzakkar ke Jawa Barat, menghadap Kartosoewirjo, pemimpin tertinggi DI/TII. Sejarah mencatat Katosoewirjo di tahun 1949, empat tahun sebelumnya, mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
-000-
Kita patut berterima kasih kepada Idwar Anwar. Ia menuliskan lebih detail kisah Opu Daeng Risaju dalam novel sejarah, setebal lebih dari 500 halaman.
“Mengapa bro tergerak menulis kisah Risaju, tanya saya kepada Idwar Anwar. Jawabnya: “Ini hutang kultural saya kepada Sulawesi Selatan. Juga karena saya terpana dengan kekerasan hati Opu Daeng Risaju dalam berjuang.”
Idwar menuliskan kisah itu dalam genre novel historical fiction. Kita tak hanya menikmati drama individu dalam konteks sosialnya. Tapi lebih dari novel biasa, kita pun belajar mengenai sepotong sejarah, kisah yang true story.
Memang selalu ada ketegangan dalam novel sejarah. Seberapa akurat sajian sejarahnya? Seberapa akurasi sejarah dikorbankan untuk dramatisasi? Seberapa fiksi lebih diutamakan terutama untuk merangkai peristiwa yang tak sepenuhnya terang.
Novel Idwar Anwar melengkapi novel sejarah lain yang memperkaya batin kita. Mulai dari serial Bumi Manusia Pramudya Ananta Toer. Burung-Burung Manyar YB Mangunwijaya. Rongeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Ditingkat dunia, genre novel sejarah ini dimulai oleh Sir Walter Scott. Di tahun 1817, ia menulis novel Ivanhoe. Puncak genre ini adalah karya Leo Tolstoy: War and Peace (1869).
Beberapa kali saya mencoba membaca karya Leo Tolstoy. Itu novel tebal lebih dari 1000 halaman lebih. Tapi, ampun, tak pernah saya tamat membaca.
Akhirnya, saya menikmati novel itu melalui serial enam film War and Peace yang dibuat BBC (2006). Walau tak sekaya novelnya, namun saya tetap menikmati kisah cinta dalam latar perubahan sejarah Rusia.
Sayapun menikmati Novel Idwar Anwar ini, mengenal Keteguhan hati singa betina dari timur, Opu Daeng Risaju, dalam latar Indonesia yang mencari identitas.***
Agustus 2020
(Denny JA, Konsultan Politik/Penulis)
Tulisan ini telah dimuat di: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3125803600849101/?d=n
Dapatkan bukunya di: www.pustakasawerigading.com