Kerancuan Filsafat, Imam Al Ghazali (Sang Penyembelih Ayam Bertelur EMAS)
Penulis : Imam Al-Gazali
Penerbit : FORUM (Grup Relasi Inti Media)
Tebal : lxxxii + 372 halaman
Terbit : 2015
Dalam karya ini,
sesuai dengan posisinya sebagai penjaga dan pembela umat, al-Ghazali
menjelaskan secara rinci kerancuankerancuan yang ada dan terus
didengungkan oleh para filsuf serta coba dilesakkan kepada umat, yang
dipandang al-Ghazali sebagai tidak sesuai dengan ''keinginan'' agama.
Dalam
karya ini, dengan berpijak pada basis keilmuan yang mengakar kuat dari
tradisi teologis (kalam), al-Ghazali membedah dan menelanjangi
''kekeliruan'' para filsuf. Hal ini sebagaimana pengakuannya, ''Dan kami
tidak menetapkan dalam buku ini, kecuali mendustakan mazhab para
filsuf. Sedangkan untuk mengafirmasi mazhab yang benar, kami (akan)
menyusun sebuah buku yang kami beri judul Qawa'id ai-'Aqa,id. Dengan
buku tersebut, kami bermaksud melakukan afirmasi, sebagaimana kami
bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku ini (Tahafut)."
Dengan demikian, dari kandungan yang dapat ditarik pada nuansa positif-konstruktif, buku Tahafut dapat digolongkan pada karya al-Ghazali dalam bidang kalam yang meneropong kajian ftlsafat. Ia juga dapat dimasukkan pada apa yang ditetapkan dalam kajian-kajian kalam agar bisa membantu semua orang untuk menjawab:
''Bagaimana seorang skeptis bisa
menyusun sebuah karya dan menyampaikan ajaran-ajaran yang positif
konstruktif?'' Selain itu, di dalamnya ditampilkan pendapat dari
kalangan yang berkeyakinan bahwa materi secara esensial adalah sesuatu
yang mungkin (mumkin/ contingent), dalam arti memerlukan sesuatu yang
bisa memberikan wujud serta bisa merusaknya.
Al-Ghazali sendiri
membagi seluruh karyanya menjadi dua bagian. Pertama, kelompok karya
yang diistilahkan dengan ''yang terlarang bagi selain yang berkompeten''
(al-madnun biha ala gayrahliha). Seluruh kandungan karya-karya yang
tergolong dalam kelompok ini, hanya diperuntukkan untuk al-Ghazali
sendiri dan orang lain yang telah memenuhi persyaratan yang teramat
sulit. Kedua, karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum
(jumhur). Ia adalah kelompok karya yang diperuntukkan kepada mereka sesuai dengan tingkat intelektualitasnya.
***
Buku
ini juga memotret doktrin mazhab para filsuf terdahulu sebagaimana
adanya. Dengan ini, diharapkan agar orang-orang yang menjadi ateis atas
dasar taklid dapat melihat dengan jelas bahwa semua cabang
pengetahuan-baik klasik maupun kontemporer-sepakat meyakini Allah dan
Hari Akhir.
Mereka juga diharapkan bisa menyadari bahwa
perdebatan yang muncul hanya terkait dengan rincian persoalan di luar
dua kutub keyakinan dasar tersebut. Di sinilah letak urgensi kehadiran
para nabi yang telah dibekali mukjizat.
Selain itu, buku ini juga
berkepentingan mengeluarkan mereka dari sikap yang berlebihan, yaitu
anggapan bahwa berpegang pada kekafiran secara taklid adalah menunjukkan
tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka. Sebab terbukti
bahwa para filsuf yang mereka anggap sebagai kelompok mereka, ternyata
steril dari tuduhan mereka sebagai para pengingkar syari' at.
Karena, para fclsuf memercayai adanya Allah dan para rasul, walaupun dalam berbagai persoalan rinci tentang prinsip-prinsip tersebut, mereka memiliki pendapat yang berbeda dan menyimpang sehingga menyebabkan orang lain tersesat dari jalan yang benar.
Buku ini bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa anggapan-anggapan tidak berdasar serta kekeliruan-kekeliruan.
Dalam hal ini, karya ini juga coba menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan warna permukaan pemikiran para filsuf yang mengandung capaian-capaian berharga yang harus tetap diapresiasi. Sebenarnya, silang pendapat antara para filsuf dengan aliran pemikiran lainnya terbagi atas tiga bagian.
Pertama, perbedaan yang hanya berakar
pada persoalan bahasa semata, seperti menyebutkan Pencipta
alam-Mahatinggi Allah dari perkataan mereka-dengan substansi (jawhar)
yang disertai penafsiran bahwa substansi yang dimaksud adalah maujud
yang tidak menempati suatu subyek, dalam arti zat yang berdiri sendiri
tanpa memerlukan unsur eksternal bagi eksistensinya.
Kedua,
gagasan-gagasan para filsuf yang tidak berseberangan dengan
prinsip-prinsip agama. Perbedaan pendapat yang muncul tidak terkait
dengan keniscayaan membenarkan ajaran yang dibawa para nabi dan
rasul-semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.
Misalnya, teori para filsuf tentang gerhana bulan sebagai hilangnya cahaya bulan sebab interposisi bumi di antara bulan dan matahari, sementara bulan memantulkan cahaya dari sinar matahari dan bumi berbentuk bulat dalam ruang langit yang melingkupi sekelilingnya.
Jika posisi bulan
terhalang oleh bumi, maka sinar matahari akan terpotong dan tidak akan
memantul pada bulan. Ketiga) pandangan atau teori yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip agama, seperti persoalan keberawalan alam, sifat-sifat Pencipta (Allah) dan kebinasaan jasad.
Detailnya,
dalam karya ini, al-Ghazali membahas tuntas dua puluh masalah yang
berkaitan dengan metafisika dan fisika yang menjadi pegangan para
filsuf, yang dianggap keliru oleh al-Ghazali. Di antaranya masalah
eternitas (azaliyyah) alam, ketakberakhiran (abadiyah) alam, dan
pengingkaran para
ftlsuf terhadap kebangkitan jasad, serta kenikmatan Surga dan kesengsaraan Neraka secara jasmani.
***
Ironis
adalah kata yang paling tepat untuk mewakili persepsi masyarakat
sekarang terhadap sosok al-Ghazali. Ia adalah Argumentator Islam (Hujjah
al-Islam, the Proof of Islam) yang kontribusinya telah diakui dunia
Barat dan Timur, namun masih saja menyisakan tanda tanya besar hingga
sekarang, mengapa tak bisa mewariskan sikap kritisisme yang menjadi
landasan intelektualitasnya?
Atau mengapa masyarakat tidak bisa menangkap rangka epistimologi yang menjadi bangunan pemikirannya? Sehingga mereka lebih asyik dengan hasil instan pemikiran al-Ghazali dalam menyelesaikan berbagai problematika sosial, ketimbang harus bersusah payah mencermati, mengkaji, dan mengembangkan manhaj yang ditapaki sang Argumentator Islam tersebut.
Kontroversi terhadap al-Ghazali bermula dari kritikannya yang cukup menohok kepada para filsuf yang berimplikasi secara significant terhadap bangunan peradaban Islam.
Akibatnya, kemajuan pemikiran umat Islam seolah menjadi mandeg-kalau tidak bisa dikatakan mati sama sekali-sehingga memunculkan julukan kalau sang imam adalah ''si penyembelih ayam bertelur emas''.
Sebenarnya,
jika dicermati secara jujur, kritikan al-Ghazali terhadap para filsuf
masih berada dalam batas kewajaran. Artinya, sikap takfir yang
diambilnya adalah sesuatu yang bisa jadi tepat bila melihat konteks
sosialnya, meskipun tidak cukup populer dan relevan bagi situasi umat
mutakhir.
Oleh karena itu, untuk memberikan penilaian yang
obyektif, tepat sekali bila mengacu pada karya sang Hujjatul Islam
secara langsung. Untuk tujuan itulah karya ini dihadirkan. Harapan kami,
semoga penerbitan karya ini semakin memperkaya wawasan para pembaca,
khususnya yang berkaitan dengan sosok ''kontroversial'' al-Gazali.
Download bukunya di SINI.