Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Tragis Budak Bugis yang Dihukum Gantung di Afrika Abad 18

Budak Bugis di Cape Town, Budak Paling Berbahaya Abad 18. Perbudakan di Afrika Selatan, kisah perbudakan di Afrika, perbudakan di sulawesi selatan, kisah budak upas, budak di sulawesi selatan, perbudakan di Indonesia, perbudakan di Hindia Belanda, kekejaman perbudakan

Kisah Tragis Budak Bugis yang Dihukum Gantung di Afrika Abad 18 menjadi salah satu catatan penting dalam historiografi perbudakan di Afrika Selatan, termasuk di Sulawesi Selatan. Kisah Upas dan surat yang berisi tentang sakit yang dideritanya kepada September ternyata berujung maut. Pada abad ke-18, menulis bisa menjadi semacam 'jimat' untuk keselamatan atau pun hal yang bermanfaat lainnya. Namun dalam kasus ini, ternyata tidak. Surat yang ditulis Upas, ternyata berakibat kematian. Apa sebenarnya yang terjadi? 

Surat Upas yang hanya merupakan permintaan bantuan biasa kepada September, ternyata berakibat kematian bagi keduanya, bahkan bagi beberapa orang lainnya. Upas yang telah menderita sakit beberapa bulan butuh bantuan September van Boegis yang oleh sebagian besar budak Bugis mengenal sebagai tabib.   

Namun bagi orang Eropa pemilik budak, di masa itu -seperti pepatah Marshall McLuhan 'media adalah pesan' -, surat sebagai sebuah media komunikasi sudah cukup untuk menimbulkan ketakutan. Dalam kasus Upas, mereka hampir tidak tertarik dengan isi literal surat itu, tetapi didorong oleh ketakutan mereka akan apa yang bagi mereka tidak dapat diprediksi bisa saja terjadi. Terlebih kasus surat Upas dianggap berbahaya sebab tidak dapat dipahami isinya.

Sesungguhnya, dalam pemahaman orang-orang Eropa di kawasan koloni di Cape dalam kasus ini adalah bahwa September van Boegis menulis surat kepada Upas untuk melakukan pemberontakan. Kekhawatiran ini muncul, sebab begitu banyaknya perlawanan yang dilakukan oleh para budak Bugis yang ada di Cape. Salah satu kasus yang paling besar yakni terjadinya kasus pembunuhan Smuts. 

Inilah salah satu yang ingin diluruskan SIRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS dalam artikelnya Upas, September and the Bugis at the Cape of Good Hope. The Context of a Slave's Letter yang dimuat di Archipel (Archipel 70, Paris, 2005, pp. 281-308). 

Menurut SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS kesalahan besar yang terjadi dalam memahami isi surat tersebut, adalah berawal dari terjemahan yang salah.

Selain mengupas mengenai Surat Upas, SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS juga mengangkat mengenai perbudakan yang terjadi, khususnya di kalangan orang-orang Bugis.

***

Ketakutan para pemilik budak pada masa itu, khususnya di Cape disebabkan banyaknya timbul perlawanan yang dilakukan oleh para budak terhadap tuannya. Dalam artikelnya, SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS menceritakan kisah awal yang menyebabkan terjadinya peristiwa Upas, yang kemudian menjadi menarik sebagai bahan kajiannya. 

Menurut SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS dalam artikelnya, rincian kisah tentang awal mula peristiwa yang mengantarkan Upas, September dan beberapa orang lainnya dijatuhi hukuman mati, diambil dari catatan persidangan Alexander van de Westcust c.s, 4 Sept. 1760, no. 16. Catatan ini dapat ditemukan di National Archief, Den Haag, VOC 10959, dan juga di Cape Archives, CJ 373, tempat penyimpanan surat aslinya.

Diceritakan bahwa peristiwa ini terjadi di musim dingin tahun 1760. Sekelompok budak, yang terdiri dari beberapa orang dengan berbagai persoalan, khusus terhadap tuan mereka dan mereka yang lain yang secara kebetulan ditarik ke dalam geng, telah melarikan diri dan berkumpul di Table Mountain.

Para pelarian ini dipimpin oleh Fortuin van Bugis, seorang budak Cornelis Verwey, yang telah melukai tuannya dalam pertengkaran sekitar enam bulan sebelumnya dan karena itu harus melarikan diri untuk menghindari hukuman mati. 

Mereka memutuskan bahwa mereka harus melarikan diri terlebih dahulu ke Hanglip, surga bagi para budak yang melarikan diri di sisi lain False Bay. Dari sana mereka menuju ke kerajaan Afrika yang merdeka beberapa ratus kilometer ke Timur.

Untuk memperlacar perjalanannya, mereka butuh memsenjatai diri. Hingga pada suatu malam, tanggal 14 Juli, mereka mengintai rumah Michiel Smuts. Smuts adalah seorang pria berusia tiga puluh tahun dengan tiga anak dan merupakan asisten dan pemegang buku pada dinas VOC. Selain itu, juga pernah menjadi komisaris dalam administrasi sipil Cape Town sebelum masuk VOC. Rumahnya terletak di Table Valley, di kawasan Cape Town modern yang dikenal sebagai Gardens.

Awalnya para pelarian bertemu dengan salah satu budak Smuts, bernama Alexander van de West Cust (dari Sumatra). Ia mengatakan kepada mereka bahwa dia sudah lama ingin membunuh tuannya, terutama karena dia tidak terima dengan hukuman yang diterimanya setelah gagal menjual beberapa sayuran di pasar di Cape Town.

Karena itu, Alexander melakukan semua yang dia bisa untuk memfasilitasi serangan itu. Kelompok ini kemudian masuk ke rumah dan menemukan Smuts bersama istrinya, Susanna de Cock, duduk di salah satu kamar rumahnya yang berperabotan mewah.

Berdasarkan catatan yang diterima SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS dari Antonia Malan, rumah Smuts memiliki tidak kurang dari dua puluh lima lukisan dan banyak ornamen perak dan emas. Isi rumah tangga Smuts dikumpulkan dari lelang propertinya yang dapat ditemukan di Cape Archives, MOOC 10/8.23.

Dalam aksinya, kelompok budak ini pun membunuh Smuts bersama istrinya, Susanna de Cock, dan juga putra mereka yang berusia lima tahun, Michiel, yang terbangun dari tidurnya karena mulai mendengar teriakan. Ini terungkap dalam buku De Villiers, C.C. and C. Pama, 1966, Geslagsregisters van die Oud Kaapse Families/Genealogies of Old Cape Families. Cape Town/ Amsterdam : Balkema. 3 vols.

Setelah melakukan aksinya, komplotan budak ini kemudian berangkat dengan membawa tiga senapan Flintlock, beberapa mesiu dan peluru, pakaian, sendok perak dan perhiasan serta beberapa makanan.

Mereka bergerak di sekeliling lereng gunung dan menuruni Devil's Peak, kemudian dikenal sebagai Windberg. Mereka menyeberangi Sungai Salt di Paarden Eiland, dan pergi ke utara untuk bersembunyi di bukit pasir di belakang Blauwberg. 

Setelah serangan itu, salah seorang dari mereka, Baatjoe van Bugis, terluka di tangan. Di persembuyian, mereka bertemu September Van Bugis, seorang budak berusia 50 tahun. Dia pernah bertemu Fortuyn ketika keduanya menjadi budak di Batavia. 

September, yang memiliki reputasi sebagai dokter kemudian mengobati tangan Baatjoe, dan memberi mereka makanan dari pertanian selama beberapa hari. Mereka juga mencuri domba dan mengumpulkan kerang di pantai. Setelah beberapa saat, mereka berusaha menyeberangi Cape Flats ke Hottentots Holland Mountains dan Hanglip, namun September tidak ikut dalam pelarian tersebut.

Akibat kejadian ini, pemerintah Cape mulai mengambil langkah -langkah untuk memerangi bahaya dari perlawanan para budak. Dalam tulisan Jeffreys, Kathleen M. and S.D. Naudé (eds), 1944-49, Kaapse Plakkaatboek. Cape Town: Cape Times Ltd. 6 vols yang dikutip SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS, saat itu pemerintah kolonial juga menawarkan hadiah 25 Rijksdaalders untuk informasi yang mengarah pada penangkapan geng.

*** 

Rentetan cerita awal di atas memperlihatkan pertemuan awal para kelompok budak yang melarikan diri dengan September. Setelah para budak ditangkap, salah seorang dari mereka pun menyebutkan nama September yang juga dianggap turut membantu pelarian mereka. Dan saat penangkapan, di dada September masih tersimpan surat yang dikirimkan Upas.

Surat Upas yang telah sakit selama dua bulan dan kemudian menulis catatan singkat September van Boegis dianggap sebuah surat yang berisi rencana perlawanan. Dan akibat kesalahan dalam menerjemahkan, surat Upas yang dikirimkan kepada September ini, menjadi terbalik bahwa Septemberlah yang mengirim surat kepada Upas.

September van Boegis yang menerima catatan dari Upas, menyimpan di dadanya, lalu membawanya di tempat budak tempat dia tinggal. Surat itu ditulis dalam bahasa ibu dua budak, Bugis, dan dalam aksara bahasa itu. Tentunya tidak satu pun dari keduanya yang menduga bahwa catatan yang tidak bersalah ini ternyata menjadi 'alamat" penyebab mereka dihukuman mati.

September dituduh berada di kepala konspirasi budak (Bugis), dan surat yang ditemukan di dadanya disampaikan kepada pengadilan sebagai bukti utama untuk ini. Selanjutnya dia dijatuhi hukuman mati.  

Berdasarkan artikel SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS, sebenarnya terdapat perbedaan utama dalam makna versi Melayu dan Belanda dengan Bugis dapat ditemukan di baris pertama dan terakhir dari badan utama surat (tajuk yang berisi nama dan tempat tinggal Adressée tidak diterjemahkan, mungkin karena dalam Asli ditulis di sisi verso).

Terjemahan Melayu dimulai dengan kata-kata ini soerat datang rieoepasang die stellingbosch 'surat ini datang rieoepasang di stellingbosch'. Kekurangan skrip Bugis, yang tidak menunjukkan setiap fonem dalam bahasa lisan, dan dengan demikian membuat bacaan yang tepat tergantung pada konteks telah menimbulkan kesalahan penerjemahan.

Secara umum masalah ini terutama membuat pembaca meragukan nama pribadi atau geografis, karena mereka tidak selalu dapat disimpulkan dari konteksnya. Dan itulah yang terjadi di sini, dan akan terjadi lagi dalam kalimat terakhir. 

Bugis berbunyi <ri.u.pa.se>, tidak diragukan lagi harus ditranskripsi sebagai ri upaseq 'dari upas', karena itu adalah nama budak yang disebutkan dalam catatan pengadilan sebagai orang yang telah dikirimi September surat ini. Padahal bacaan yang benar harusnya 'surat ini berasal dari UPAS di Stellenbosch'.

Kesalahan yang fatal juga, menurut SlRTJO KOOLHOF & ROBERT ROSS, dilakukan penerjemah. Terjemahan Melayu berbunyi loe kieriem sama goeâ â soedara September '[Surat ini] Anda mengirim kepada saya saudara September', menunjukkan bahwa September yang menulis surat itu, padahal Septemberlah yang menerimanya.

Namun bahasa Bugis membaca Nadéatui Séajing Sitémbéréq 'dikirim ke Brother September'. Terjemahan ini tentu saja lebih masuk akal untuk surat yang mengeluh tentang penyakitnya yang dikirimkan kepada September yang dikenal dikalangan budah Bugis yang mampu mengobati.

Peristiwa ratusan tahun lalu itu telah menyebabkan September mendapat hukuman yang sangat mengerikan. Berbeda dengan budak lainnya, meski mereka juga tetap dihukum mati. Namun bagi budak yang dianggap otak dari rencana perlawan, mendapat hukuman mati yang sangat mengerikan, dimana mereka tidak langsung dibunuh, tetapi melalui banyak siksanaan dan model hukuman yang sungguh mengerikan. 

Saat itu, khususnya di abad 18, stigma budak Bugis memang dianggap sebagai budak yang sangat berbahaya di Cape. (red)