Menelusuri Jejak Sejarah Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kerajaan besar dan berpengaruh di Nusantara, salah satunya yakni Kerajaan Samudra Pasai. Jejak-jejak peninggalan kerajaan ini masih dapat ditemukan di Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara.
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara yang mengeluarkan mata uang emas. Di bawah kekuasaan Sultannya Muhamyang, Kerajaan Samudra Pasai mengeluarkan matauang emas.
Demikian pula dibawah Sultannya Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326) dikeluarkan mata uang emas. Mata uang ini sampai saat ini dianggap derham yang tertua.
Kerajaan Samudra Pasai mulai berkembang sebagai pusat perdagangaan dan pusat pengembangan agama Islam di Selat Melaka pada akhir abad XIII M.
Dalam buku William Shaw dan Mohd. Kassim Haji Ali, Malacca Coins, (Kuala Lumpur: Muzium Negara, 1970), disebutkan, pada 1414 Parameswara, raja pertama Melaka mengadakan aliansi dengan Pasai, memeluk agama Islam dan menikahi puteri Pasai.
Di masa itu, banyak pedagang-pedagang dari Pasai pergi ke Melaka dan bersamaan dengan itu memperkenalkan sistim penempaan mata uang emas ke Melaka.
Ciri Mata Uang Pasai
Dalam buku Sejarah Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh yang disusun Prof. Teuku Alfian disebutkan, mata uang emas atau derham Pasai, memiliki garis tengah kurang lebih 10 mm, kecuali yang dimiliki Sultan Zain al-'Äbidin (1383-1405) dan Sultan Abdullah (1500-1513).
Derham Sultan Zain al-Äbidin bergaris tengah 13 mm, sedangkan Sultan Abdullah derhamnya ada yang bergaris tengah 5 mm. Adapun derham kerajaan Aceh yang ditempa lebih dari dua abad sesudah dikeluarkannya mata uang emas Pasai, berkisar sekitar 12 sampai 14 mm.
Adapun di bagian depan semua derham Pasai, kecuali kepunyaan Sultan Salah ad-Din (1405-1412), tertera nama Sultan dengan gelar Malik az-Zahir.
Setelah kerajaan Aceh menaklukkan kerajaan Samudra Pasai pada 1524, sultan-sultan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Samudra-Pasai dengan memakai gelar Malik az-Zahir pada derham mereka.
Hal ini mulai dilakukan sejak masa pemerintahan Sultan Aceh Salah ad-Dïn (1530-1539M.) sampai dengan Sultan 'Ali Ri'ayat Syah (1571-1579 M.). Data ini dapat ditemukan di buku J. Hulshoff Pol, De Gouden Munten van Noord-Sumatra, (Amsterdam: Johannes Muller, 1929).
J. Hulshoff Pol juga menyebutkan, ungkapan as-sultân al-'ädil seperti yang terdapat pada bagian belakang derham Pasai dipakai pula oleh sultan-sultan kerajaan Aceh Dar as-salam sejak kekuasaan Sultan Salah ad-Din (1405-1412) sampai dengan Sultan Ri'ayat Syah (1589-1604 M.). Sedangkan sejak Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M.), kata-kata as-sultan al-'ädil tidak lagi dipergunakan pada derham Aceh.
Dalam bukunya, William Shaw dan Mohd. Kassim Haji Ali sangat tertarik dan memberi perhatian pada ungkapan raja yang adil itu terdapat juga pada mata uang di Semenanjung Tanah Melayu. Ungkapan as-sultân al-'ädil dapat dibaca pada mata uang Sultan Ahmad yang bertahta di Melaka pada 1510 dan baginda pulalah yang mempertahankan Melaka dari serangan Portugis.
William Shaw and Mohd. Kassim Haji Ali, dalam bukunya yang lain Coins of North Malaya, (Kuala Lumpur : Muzium Negara, 1971) mengungkapkan bahwa pada bagian belakang mata uang emas Kelantan-Patani, jenis-jenis kijang dan dinar matahari, terlukis pula kata-kata malik al-'adil yang juga bermakna raja yang adil.
Tulisan malik al-'adil ini dapat pula dilihat pada mata uang mas kerajaan Trengganu yang disebut pitis. Mata uang ini diketahui beredar pada 1838 di pesisir timur Semenanjung Tanah Melayu. Bahkan menurut William Shaw and Mohd. Kassim Haji Ali, tulisan malik al-'adil juga terdapat di Negeri Kedah pada mata uang Sultan Muhammad Jiwa Zainal Syah II (1710-1760). Pada mata uang yang disebut dengan nama kupang itu juga terdapat tulisan adil syah 1147. Maksudnya raja yang adil, tahun 1734/5 M.
Nilai Mata Uang Pasai
Mengenai pengukur nilai derham Pasai yang ada pada masa itu dalam Sejarah Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut Alfian, sekedar sebagai petunjuk hanya dapat dilihat pada uang emas atau derham Aceh.
Dalam sebuah buku Uytrekening van de Goude en Silvere Munts Waardye, der Maten en Swaarte der Gewigten, in de Kespective Gewesten van Indien (Middelburg: Johannes Meertens) yang terbit pada 1691 mengenai perhitungan nilai mas dan perak serta mengenai ukuran dan berat di benua Timur disebutkan bahwa di Aceh satu tail adalah 16 mas (derham).
K.F.H. van Langen, dalam De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat," BKI (1888) menyebutkan bahwa satu ringgit Spanyol atau biasa juga disebut reyal atau ringgit meriam sama dengan empat mas.
Van Langen juga menuliskan bahwa nilai derham Sri Sultanah Taj al-'Älam Safiat ad-.Din Syah (1641-1675) adalah f. 0,625 (enampuluh dua setengah sen Hindia Belanda).
J. Kreemer dalam Atjeh (Leiden : E.J. Brill, 1923) memberikan perbandingan bahwa:
1 tail = 4 pardu (pardu adalah matauang perak yang ditempa oleh Portugis di Goa).
1 pardu = 4 derham (mace, mas).
1 derham = 4 kupang (matauang perak yang kecil).
1 kupang = 400 keueh (bhs. Portugis : caxa, terbuat dari kuningan dan timah; bhs. Belanda: kasja atau kasje).
Sekilas Beberapa Raja dan Mata Uang yang Digunakan
Tentu saja sangat sulit bagi seorang penulis sejarah untuk menyusun daftar nama-nama raja Samudra Pasai, apalgi lengkap dengan angka tahun mereka memerintah. Hal ini diakibatkan belum cukupnya diperoleh data yang otentik dan dapat dipercaya.
Jika merujuk pada pandangan Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, masa kekuasaan setiap raja (penguasa) dapat diperkirakan dalam masa rentang 40 tahun. Dengan perhtungan ini tentu sedikit mempermudah seorang sejarawan menghitung masa kekuasaan seorang raja, jika data-data tentang raja yang ada sebelumnya tidak ditemukan. Perhitungan ini tentu merupakan perkiraan yang dianggap paling mendekati dalam pandangan Ibnu Khaldun.
Salah satu data yang berhasil ditemuan J. Hulshoff Pol yang ditulis dalam bukunya, De Gouden Munten van Noord-Sumatra, (Amsterdam: Johannes Muller, 1929).
J. Hulshoff Pol menuliskan tentang derham seorang Sultan yang bernama Ghiath ad-Dïn bin 'Ala ad-Din Malik az-ZShir14. Dalam deskripsinya tentang derham tersebut, ia menyebutkan sebagai berikut:
- muka : Ghiath ad-Dïn bin 'Ala ad-Dln Malik az-Zâhir.
- belakang : as-sukân al-'ädil.
- berat : 0,57 gram.
- mutu : 18 karat
- koleksi : J. Hulshoff Pol.
Menurut penjelasan Alfian, jika merujuk pada kata-kata malik az-zähir dan as-sultän al-'ädil yang tertera pada bahagian muka dan bahagian belakang derham tersebut, dapat disimpulkan bahwa derham tersebut berasal dari Samudra Pasai. Akan tetapi, kapan periode masa kekuasaan atau masa pemerintahan Sultan ini sampai sekarang ini belum dapat diketahui.
Nama Sultan Mümin dengan mata uang yang digunakan dalam masa pemerintahannya juga menjadi yang salah satu derham yang dikoleksi oleh Hulshoff Pol.
Meski demikian, Sultan Mümin dimasukkan J. Hulshoff Pol. dalam kelompok raja-raja Pasai, juga tidak diketahui kapan masa pemerintahannya.
Menurut Alfian, seorang ahli purbakala yang pernah meneliti makam-makam di Samudera Pasai, bernama J.P. Moquette, sependapat dengan J. Hulshoff Pol yang memasukkan nama Mumin ke dalam daftar raja-raja Pasai.
Dalam bukunya "Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase", TBG (1938), H.K.J. Cowan, juga memasukkan Mumin dalam salah satu raja Pasai.
Dalam "Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase" ini H.K.J. Cowan mengatakan bahwa Raja Mumin memerintah setelah Sultan Abu Zaid Malik az-Zâhir (1412 — ? ) dan sebelum Sultan Zain al-'Äbidih (1513 —1524).
J. Hulshoff Pol, dalam bukunya, De Gouden Munten van Noord-Sumatra, mencatat detai mengenai derham raja Mumin tersebut:
- muka : Mümin Malik az-Zihir
- belakang : as-Sultân al-'ädil
- berat : 0,40 gram
- mutu : 14,7 karat
- koleksi : J. Hulshoff Pol.
Sumber-sumber dalam "Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase" dan beberapa buku lainnya tentunya masih kurang dan belum dalam menjelaskan dan mengurai secara lengkap, khususnya terkait daftar raja-raja yang memerintah kerajaan Samudera Pasai. (red)