Haji Hayyung dan Pergerakan Kemerdekaan di Selayar
Haji Hayyung dan Pergerakan Kemerdekaan di Selayar tidak terlepas dari tokoh Abdul Hay atau lebih dikenal dengan nama A.G.H. Hayyung. Haji Hayyung merupakan tokoh penting dalam pengembangan Islam dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Selayar. Kehadirannya telah memberikan perubahan bagi pemahaman ke-Islaman masyarakat Selayar dan menjadi salah seorang pembangkit semangat perlawanan terhadap penjajahan.
A.G.H. Hayyung lahir dan dibesarkan di kampung Barugaiya-Selayar. Ia hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Di masyarakat Selayar ketika itu, keluarga Hayyung dikenal sangat kaya. Karenanya, Hayyung hidup berkecukupan dalam hal materi. Keluarga Hayyung memiliki kebun kelapa yang sangat luas, tanaman yang ketika itu merupakan sumber penghidupan utama sebagian besar masyarakat, baik di daratan Pulau Selayar maupun di daerah kepulauannya.
Namun hidup dalam keluarga yang bercukupan pada masa kecilnya membuat Hayyung menjadi anak yang suka bersenang-senang. Sebagai seorang anak yang masih kecil, kenakalan Hayyung dapat dikategorikan kenakalan anak-anak. Namun orang tuanya tidak dapat menerima kenyataan Hayyung yang sudah salah pergaulan. Karenanya, pada umur 11 tahun, ia pun dititipkan pada jamaah haji yang akan berangkat ke Mekkah.
Hidup di Arab ternyata membuat perubahan hidup Hayyung sangat drastis. Perenungan Hayyung sebagai seorang kanak-kanak tentang hidup ternyata memberikan sebuah cahaya terang yang akan menuntun jalan Hayyung dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pasti memiliki sejarah perjalanan hidup yang berbeda-beda. Dinamika kehidupan yang dialami oleh setiap orang, sadar atau tidak, telah membentuk sebuah kepribadian pada masing-masing individu. Karena begitu, setiap orang pastinya akan belajar untuk terus mengembangkan/menjaga intelektualitas, moralitas dan emosionalitasnya untuk dapat menghadapi gelombang kehidupan yang setiap saat pasti akan berbeda tantangannya.
Namun begitu, perjalanan setiap orang, betapa pun indah atau tragisnya, namun tak akan bisa memunculkan rasa kekaguman atau simpati bila perjalanan hidup itu tidak pernah diceritakan, terlebih dituliskan. Karenanya, generasi kini, apalagi generasi yang akan datang, tak akan mampu belajar dan mengambil hikmah dari perjalanan kehidupan seseorang yang hebat sekali pun, kalau ia tak pernah mendengar apalagi membacanya.
Apa yang diungkapkan oleh Coleridge dalam buku The Critical Significance of Biografical Evidence, mungkin benar. Menurutnya, jika setiap kehidupan –walaupun mungkin tak ada artinya--, jika diceritakan dan dituliskan dengan jujur, pasti akan menarik.
“Kuingin menceritakan jalan hidupku, bukan memperlihatkannya” begitu kata Emily Bronte (Jan Van Luxemburg, Pengantar Ilmu Sastra. 1958:119.). Buku ini juga hadir untuk menceritakan perjalanan panjang kehidupan seorang tokoh Islam dan pejuang kemerdekaan di Selayar. Penulisan biografi ini berusaha menceritaan perjalanan A.G.H. Hayyung, bahkan latarbelakang orang tuanya.
Di dalam buku ini, kita seperti berhadapan dengan seorang “aktor”. Tetapi sesungguhnya kita juga berhadapan dengan lingkungan sosial dan kultural di mana sang aktor memainkan peranan di dalamya. Lingkungan sosial dan kultural itu berada dalam sebuah ruang dan waktu dimana sang tokoh hidup dan memberi makna pada kehidupannya.
Membaca buku ini, kita juga seperti berhadapan dengan seorang “tokoh”. Tetapi sesungguhnya kita juga akan berhadapan dengan banyak manusia yang memiki karakter yang tentu berbeda-beda. Dari situ pula, kita akan menemukan ide-ide, pikiran-pikiran, perasaan, maupun obsesi-obsesi dari sang tokoh. Hal ini dapat ditelusiri dalam buku Selayar dan Perherakan A.G.H. Hayyung ini.
Dalam buku ini, perjalanan Hayyung sejak kecil hingga meninggal, diuraikan dengan baik. Perjalanan batin Hayyung sangat jelas terlihat ketika ia harus pergi ke Arab Saudi. Di tempat yang sangat jauh dari kampung halamannya, Hayyung banyak belajar tentang agama Islam. Dari pengalamannya belajar tentang Islam di Arab Saudi inilah yang dikemudian hari membawa Hayyung menjadi seorang tokoh Islam pembaharu di Selayar.
Sejak di Arab Saudi, Haji Hayyung banyak dipengaruhi oleh ajaran Wahabiyah dan Salafiyah. Inilah yang kemudian mempengaruhinya dalam mengembangkan ajaran Islam di Selayar. Ia ingin membersihkan aqidah ummat Islam dari belenggu takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Masyarakat di Selayar ketika itu, hampir seluruhnya menganut agama Islam dari semua lapisan masyarakat. Masyarakat Selayar merupakan penganut agama Islam yang fanatik, tetapi dalam pelaksanaannya mereka jauh menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Mereka tidak mengenal adanya pemisahan yang jelas antara upacara agama dengan upacara adat yang merupakan warisan dari kepercayaan animism dan dinamisme.
Mereka tidak memahami dengan jelas mana yang hak dan bathil, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Karena tingkat pemahaman agama yang sangat rendah, sehingga dalam menjalankan ibadah pun mereka mencampur-adukkan dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Hal ini juga disebabkan karena begitu kuatnya pengaruh budaya dan ajaran kepercayaan nenek moyang sebelum masuknya ajaran Islam. Realitas inilah yang membangkitkan semangat Hayyung untuk segera mengubahnya.
Untuk itu, saaat tiba kembali di Selayar tahun 1918, Hayyung membentuk Lembaga Dakwah di berberapa daerah di Selayar. Ia juga mendirikan cabang Muhammadiyah. Hayyung pun dikenal di kalangan murid-muridnya dengan gelar penghormatan “Anrong Gurunta” (maha guru kita). Istilah ini mungkin dapat disamakan dengan istilah kiyai pada masyarakat Jawa.
Pemberian nama anrong gurunta ini dilatar-belakangi oleh pengetahuan H. Hayyung yang sangat luas dan mendalam tentang agama Islam. Karena itu, ia dapat dijadikan sebagai tempat untuk belajar dan menimba ilmu oleh masyarakat manapun
Dengan langkah tersebut, sedikit demi sedikit H. Hayyung terus melakukan pembaharuan pemahaman tentang Islam dalam pandangan masyarakat Selayar. Gerakan pemurnian ajaran Islam ini dilakukan pada 3 (tiga) hal penting yakni aqidah, syari’ah dan akhlaq. Ia pun berusaha membangung kesadaran berfikir masyarakat Selayar dalam bidang kemasyarakatan, bidang Politk serta hak dan kewajiban wanita dalam Islam dan budaya.
Hayyung tak ingin masyarakat Selayar semakin jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Terlebih ketika masyarakat Islam Selayar semakin terpuruk setelah Belanda masuk dan berusaha berkuasa dan menguasai sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mereka terpuruk secara materi terlebih lagi dalam hal kebebasan beragama.
Segala sendi kehidupan masyarakat berada di bawah pengawasan langsung pemerintah kolonial Belanda. Setiap kegiatan masyarakat yang dianggap akan merugikan pihak Belanda, akan segera dihentikan dan masyarakat tidak punya daya untuk melawan.
Ketidakberdayaan masyarakat itu kian memprihatinkan, sebab kaum bangsawan pada umumnya lebih mendukung setiap kebijakan pemerintah penjajah dibandingkan harus memberikan yang terbaik bagi rakyat. Para bangsawan bahkan kebanyakan menjadi kaki tangan Belanda. Sebab itu, rakyat tidak tahu harus menaruh harapan pada siapa untuk membela mereka. Terlebih pihak Belanda membuat aturan yang memaksa pemerintah adat sebagai pelaksana di lapangan. Kebijakan ini sangat jelas merupakan siasat adu domba Belanda untuk memecah-bela persatuan bangsa.
Bagaimanapun juga, bangsa yang berada di bawah naungan penjajah tidak akan menemui kemandirian ekonomi. Segala kegiatan ekonomi masyarakat diarahkan untuk menopang kejayaan ekonomi bangsa penjajah. Kegiatan ekonomi yang dianggap akan merugikan penjajah, akan dihentikan segera tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Hal ini dilakukan, karena pada permulaan abad XX, Pemerintah Hindia Belanda mengalami desakan yang kuat dari luar sehubungan dengan kegiatan ekonomi. Hal ini memaksa Pemerintah Hindia Belanda untuk mencanangkan suatu kebijaksanaan baru yang dari segi terminologyi bercorak euphinistis, karena politik perluasan kekuasaan melalui ekspedisi militer itu diistilahkan dengan “politik perdamaian” (facificatie politiek). Berdasarkan konsep politik itu, maka pada bulan Juni 1905 Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke Sulawesi Selatan yang disebut “Ekspedisi Sulawesi” (Celebes Expeditie).
Tujuan dari pelaksanaan pengiriman ekspedisi militer itu adalah untuk memaksa kerajaa-kerajaan sekutu yang berdaulat di Sulawesi mengakui keunggulan, keududukan dan kekuasaan Belanda dan menempatkan negerinya sebagai taklukan Belanda. Dalam hal itu setiap kerajaan yang berhasil ditaklukan dipaksa untuk menandatangani “pernyataan pendek” (korte verklaring).
Kondisi ini terkadang pemerintahan adat dibenturkan dengan rakyat sendiri. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemerintah Belanda dalam mengarahkan masyarakat jajahannya karena rakyat secara umum mengenal aturan pemerintahan yang hierarkhis.
Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya kebijakan Tanam Paksa yang dikeluarkan pemerintah Belanda kepada wilayah jajahannya. Kehidupan masyarakat yang hierarkhis dan otoriter semakin memperdalam dan memperlebar jurang yang secara adat telah ada antara kaum bangsawan sebagai pemegang pemerintahan dengan rakyat yang diperintahnya.
Keadaan masyarakat yang setiap hari semakin terpuruk akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda itu membuat H. Hayyung sangat prihatin. Penderitaan yang dialami masyarakat tidak jelas kapan akan berakhir. Penjajah yang tidak mengenal perikemanusian itu memperlakukan masyarakat sebagai budak yang tidak memiliki hak azasi sebagai manusia.
Mereka dijadikan sebagai alat produksi dengan jumlah yang sangat banyak dan dengan biaya yang sangat murah untuk menopang pembangunan ekonomi pihak penjajah Belanda. Pihak Belanda harus bekerja keras untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya di wilayah jajahannya karena negara mereka pun sementara berada dalam penjajahan bangsa Spanyol.
Masyarakat mengalami penjajahan baik secara fisik maupun aqidah. Secara fisik mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi penjajah dengan upah yang sangat rendah dan bahkan tidak dibayar sama sekali. Dan secara aqidah, masyarakat yang umumnya beragama Islam tidak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memahami dan menyebarkan ajaran agamanya.
Bahkan ada usaha dari pihak penjajah untuk merusak aqidah ummat Islam, yaitu dengan menyebar ulama dari kalangan masyarakat setempat yang merupakan kaki tangan penjajah. Para ulama tersebut dalam menyebarkan ajarannya banyak memasukkan unsur takhayul, bid’ah, dan khurafat yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
Keterbatasan pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah menyebabkan dengan mudah menerima ajaran tersebut. Masyarakat sangat taklid (patuh) dengan apa yang disampaikan oleh ulama-ulama mereka. Di sinilah perjuangan A.G.H. Hayyung sangat penting dalam melawan pengaruh-pengaruh tersebut.
Kehadiran buku ini merupakan salah satu referensi yang baik dan lengkap untuk memahami realitas penjajahan dan kerberadaan Islam dengan menyorot sosok ulama besar, sekaligus tokoh pejuangan kemerdekaan, khususnya di Selayar. Buku ini memberikan banyak realitas baru, khususnya dalam melihat sosok A.G.H. Hayyung dalam pemurnian ajaran Islam dan melawan penjajah di Selayar.
Makassar, 30 Juli 2015
M. Thamrin Mattulada (Editor)
Dapatkan bukunya di www.pustakasawerigading.com