Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Priyayi dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa

Priyayi dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa priyayi priyayi adalah priyayi baru adalah priyayi pada masa kolonial belanda lebih merujuk pada kelompok priyayi itu apa priyayi jawa adalah priyayi tegese priyayi yaitu priyayi tari priyayi dalam bahasa jawa heather sutherland heather sutherland and miriam heather sutherland partner heather sutherland age heather sutherland young heather sutherland photos heather sutherland wikipedia

Priyayi
dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa sampai saat ini masih cukup menarik diperbincangkan, khususnya dalam kajian sejarah budaya, masyarakat Jawa. Sebuah tulisan berjudul Priyayi yang ditulis Heather Sutherland atau Heather Amanda Sutherland (lahir 1943), menarik untuk diungkap. Heather Sutherland merupakan seorang sejarawan Australia dan mantan profesor di Vrije Universiteit Amsterdam di Belanda yang mengkhususkan diri dalam sejarah Indonesia, dan juga meneliti negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Heather Sutherland dalam tulisan berjudul Priyayi ini mendiskusikan beberapa asumsi dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab mengenai terminologi priyayi, salah satu dari banyak kategori dalam studi Jawa yang paling umum digunakan.

Menurut Heather Sutherland, terminologi priyayi, merujuk pada kelas atas Jawa yang memerintah, digunakan sejak lama baik oleh sarjana Jawa sendiri maupun sarjana Belanda.

Akan tetapi istilah priyayi mendapat perhatian serius di kalangan mahasiswa Indonesia sejak Clifford Geertz menerbitkan bukuny The Religion of Java (Glencoe: The Free Press, 1960).

Heather Sutherland mengemukanan, Koentjaraningrat menunjukkan bahwa taxonomi santri-abangan yang dikemukakan Geertz mengacaukan legitimasi divisi antara dua tradisi religius (abangan sinkretis dan santri Muslim) dengan memperlakukan priyayi sebagai kategori yang bisa dibandingkan, ketika secara esensial hal itu merujuk pada suatu kelas sosial.

Pada kenyataannya, priyayi bisa mengikuti tradisi abangan atau tradisi santri. Hal ini dapat dilihat dalam tinjauan Koentjaraningrat pada Religion of Java, di dalam Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra, I, No. 2 (1963),  h. 188-191. Termasuk pula yang diungkapkan Robert B. Cruikshank, “Abangan, Santri dan Priyayi: A. Critique, “Journal of  Southeast Asian Studies,  III, No. 1 (1972),  h. 39-43.

Dalam tulisannya, Heather Amanda Sutherland menyebutkan ada imej priyayi yang betul-betul konsisten yang ditunjukkan di dalam literatur kraton Jawa dan juga di dalam catatan-cacatan akademis.

Mengutip L. W. C. van den Berg, De Inlandsche Rangen  en  Titels op Java en Madoera  (Batavia: Landsdrukkerij, 1887) menyebutkan bahwa asal-usul terminologi priyayi berasal dari para yayi, artinya “para adik laki-laki” (raja), dan dengan perluasan makna termasuk yang memerintah. Para bangsawan dan para pejabat, para pegawai yang bekerja di kraton dan para pemimpin lokal semua bisa dikalisifikasi sebagai priyayi.

Idealnya, seorang priyayi, adalah seorang Jawa asli yang berkedudukan tinggi di pemerintahan, benar-benar mengetahui sepenuhnya budaya aristokrat kraton-kraton. Seorang priyayi harus akrab dengan literatur klasik, musik dan tari, wayang kulit, dan dengan seluk-beluk filosofi, etik dan mistik. 

Seorang priyayi harus menguasai nuansa-nuansa tingkah-laku sopan-santun, bahasa dan busana, dan, hingga memasuki abad 19, seorang priyayi diharapkan sudah mengerti betul tentang seni perang (the arts of war), dan mempunyai kepandaian menangani kuda dan menggunakan senjata.

Selain itu, terkait pada syarat-syarat kepandaian, priyayi berarti orang yang mempunyai integritas dan terhormat, dikaruniai dengan kepedulian yang mendalam tentang kebutuhan-kebutuhan moral atas posisinya, dan tanggung jawabnya kepada penguasa, rakyat dan kode etika elit yang tinggi.

Pendeknya, menurut Heather Sutherland, imej priyayi adalah seorang yang mampu mempertemukan spiritual dan seremonial sebagaimana kebutuhan-kebutuhan teknis kantor. Penjabaran imej ini di dalam realitas tergantung pada beberapa faktor, yang paling penting, derajat kraton-kraton sendiri dalam mengikuti pola standar, dan sejauh mana kraton-kraton memaksakan norma-normanya kepada elit-elit wilayah di bawah kekuasaannya. 

Oleh karena itu, Heather Sutherland melihat relatif tingginya konsensus terhadap model priyayi merupakan kecenderungan para sarjana, dan lebih luas lagi, elit Jawa sendiri, yang menerima kraton Mataram dan nilai-nilainya sebagai satu standar dan contoh yang cocok. (red)

Catatan:

Heather Sutherland merupakan seorang akademisi, profesor, serta sejarawan Australia lulusan Studi Asia dari Australian National University, Canberra. Heather Sutherland menjadi pengajar di beberapa universitas ternama, salah satunya Vrije Universiteit Amsterdam di Belanda. Heather Sutherland merampungkan studi MA dengan tesis mengenai sekelompok intelektual di Batavia selama 1930-an. Seperti kebanyakan karyanya berikutnya, penelitiannya tersebut didasarkan pada kombinasi kajian pustaka serta arsip, juga wawancara, baik di Belanda maupun Indonesia. Pola penelitian ini dilanjutkan dalam disertasinya di Universitas Yale yang berjudul Pangreh Pradja; Java’s indigenous administrative corps and its role in the last decades of Dutch Colonial Rule (1973). Disertasi Heather Sutherland ini pada 1979 diterbitkan oleh Heinemann di Singapura dengan judul The making of a bureaucratic elite; The colonial transformation of the Javanese Priyayi.