Mengapa di Ujung Kekuasaannya, Jokowi Masih Sangat Populer? - Berebut “Jokowi Effect” di Pilpres 2024
Oleh: Denny JA
ISU perubahan yang diusung koalisi Capres Anies Baswedan saat ini tidak terlalu bergema. Ini ikut menyumbang elektabilitas Anies yang masih kalah selisih dua digit ( di atas 10 persen) dibandingkan elektabilitas Ganjar Pranowo, terlebih lagi Prabowo Subianto.
Tapi mengapa isu perubahan tidak bergema? Jawabnya adalah hukum besi politik. Isu perubahan hanya bergema jika presiden yang berkuasa tidak populer. Akibatnya publik luas ingin suasana yang baru, berbeda, perubahan.
Sebaliknya, jika presiden yang berkuasa sangat populer, publik ingin kondisi itu justru berlanjut. Yang menyentuh mayoritas pemilih bukan isu perubahan, tapi justru isu untuk tetap bertahan. Continue. Lanjut!
Di ujung kekuasaannya, Jokowi masih sangat populer. Menjelang proklamasi 17 Agustus, approval rating, yang puas atas kinerja Jokowi selaku presiden masih sangat tinggi di angka 80 persen. Itu hasil survei LSI Denny JA yang baru saja selesai, beberapa hari lalu.
Jika survei itu diurut ke belakang, di bulan Januari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, hingga Agustus 2023, tingkat kepuasan atas kinerja Jokowi dalam survei LSI Denny JA, berkisar antara 79-82 persen. Itu tingkat kepuasaan yang teramat tinggi.
Bagi mereka yang menyadari data ini, tak akan mengusung isu perubahan. Yang harusnya diusung justru “Jokowi Effect,” efek kedekatan dengan Jokowi, efek melanjutkan program penting Jokowi.
Apa yang menyebabkan Jokowi masih sangat populer di ujung kekuasaannya? Itu gabungan antara kinerja dan personaliti Jokowo sendiri.
Akan halnya kinerja Jokowi, programnya soal Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Hilirisasi, IKN, Infrastruktur, dan sebagainya, termasuk pro dan kontra, perlu dibahas tersendiri.
Di sini, dibahas satu sisi saja: personalitas Jokowi yang hadir di ruang publik. Penampilan Jokowi yang rendah hati, akrab dengan rakyat, menyapa (reaching out), ikut memberi kontribusi.
-000-
Minggu siang di akhir bulan Juli 2023, saya mendapatkan teks di japri WA. Itu teks dari ajudan Presiden. Ia mengabarkan bahwa Presiden ingin bertemu.
Saya datang ke Istana Merdeka, di hari Minggu. Suasana sepi di sana. Tapi protokol istana tetap terasa. Dari pintu khusus, dengan mobil golf saya di antar ke tempat Jokowi.
Di ujung meja panjang, duduk rileks saja Presiden Indonesia, Joko Widodo.
Rendah hatinya Jokowi sudah terasa dari kalimat pertama yang ia ucapkan. “Maaf, saya mengganggu hari libur Mas Denny. Tadi saya minta cek, apakah hari ini Mas Denny tidak di luar kota.”
Saya pun menjawab, “oh sama sekali tidak mengganggu, pak. Dipanggil presiden adalah sebuah kehormatan.”
Itu hari minggu. Jokowi rileks saja tidak berpakaian resmi.
Kami mengobrol santai saja. Terasa sikapnya yang santun, halus, dan cerdas secara emosional. Jokowi lebih banyak bertanya. Sesekali ia mencatat percakapan.
Kami berdiskusi berdua saja, sekitar 45 menit. Dalam percakapan itu saya sempat berkata.
“Ketika nanti selesai tugas di tahun 2024, usia Pak Jokowi masih tergolong sangat muda, 63 tahun. Dan Pak Jokowi masih sangat populer.
Di Indonesia, bahkan di dunia, sangat, sangat dan sangat jarang, di ujung kekuasaannya, seorang presiden mendapatkan tingkat kepuasaan (Approval Rating) hingga 80 persen.
-000-
Approval Rating itu bahasa riset yang standard dalam survei opini publik.
Approval rating menunjukkan persentase responden pada jajak pendapat yang menyetujui orang atau program tertentu. Setuju atau tidak setuju, dalam survei di Indonesia bahasanya acapkali diganti dengan puas atau tidak puas.
Peringkat persetujuan untuk presiden di Amerika Serikat pertama kali dilakukan oleh George Gallup pada tahun 1937. Gallup adalah seorang jajak pendapat terkenal Amerika Serikat, yang mendirikan Gallup Organization pada tahun 1935. Ia dianggap sebagai bapak polling opini publik modern.
Peringkat persetujuan tertinggi untuk seorang presiden pada akhir masa jabatannya adalah 90% untuk Franklin D. Roosevelt pada tahun 1945.
Roosevelt presiden selama Perang Dunia II dan peringkat persetujuannya melonjak setelah kemenangan Sekutu.
Peringkat persetujuan terendah untuk seorang presiden di Amerika
Serikat pada akhir masa jabatannya adalah 22% untuk Harry Truman pada tahun 1952. Truman adalah presiden selama Perang Korea dan peringkat persetujuannya menurun seiring perang berlarut-larut.
Ada banyak faktor yang dapat memengaruhi peringkat persetujuan presiden, termasuk keadaan ekonomi, peristiwa kebijakan luar negeri, dan personalitas presiden.
Misalnya, presiden cenderung memiliki peringkat persetujuan yang lebih tinggi saat perekonomian berjalan baik dan peringkat persetujuan lebih rendah saat perekonomian berjalan buruk.
Tradisi di Indonesia, umumnya presiden berakhir buruk di ujung kekuasaannya. Bung Karno jatuh. Pak Harto jatuh. Laporan Presiden Habibie ditolak MPR.
Gus Dur juga jatuh. Megawati tidak dipilih kembali sebagai presiden, dikalahkan oleh SBY. Dan SBY pun di ujung kekuasaanya menurun tingkat populeritasnya, yang berimbas jatuhnya perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2014.
Jokowi keluar dari tradisi presiden Indonesia. Ia justru sangat populer di ujung kekuasaannya.
-000-
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2023 di gedung MPR/DPR/DPD, Jokowi menyatakan:
“Saya tahu ada yang mengatakan Saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Fir’aun, tolol. Ya nda apa, sebagai pribadi saya menerima saja.”
“Tapi yang membuat saya sedih budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang? Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah."
"Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia," ujarnya.”
Sampai berakhir tugasnya, semoga Jokowi tetap rendah hati, tak terganggu dikritik, tetap bersahaja, dan
populer. Ini agar kita memulai tradisi yang berbeda. Presiden di Indonesia jangan justru jatuh di ujung kekuasaanya.
Kita justru harus menjauh dari apa yang dikatakan dalam puisi Kahlil Gibran. “Celakalah sebuah negeri, yang membunyikan terompet dan bertepuk tangan menyambut pemimpin baru. Namun melepas pemimpin itu dengan cemooh dan cacian di ujung kekuasaannya.”
Masih sangat populernya Jokowi di ujung kekuasaan adalah tradisi yang baik untuk dilanjutkan oleh Presiden Indonesia berikutnya.***
17 Agustus 2023