Wakil Ketua DPRD Kota Palopo, Narasumber di Diskusi Buku "Perang Kota, Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946"
Harisal A. Latief sebagai narasumber pada Diskusi Buku bersama Tasdin Tahrin dan Tsamratul'aeni |
PUSTAKAWANMENULIS.COM - Wakil Ketua DPRD Kota Palopo, H. Harisal A. Latief menjadi salah satu narasumber dalam diskusi buku berjudul "Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946".
Kegiatan yang dilaksanakan Komunitas Arung Sejarah Budaya Sawerigading (Komunitas Sawerigading) ini bertempat di Warkop Kampis, Jl. Andi Masjaya, Palopo, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Selain Harisal, hadir pula dua narasumber lainnya yang berasal dari dua perguruan tinggi ternama di Kota Palopo yakni Tasdin Tahrin (dosen IAIN Palopo), dan Tsamratul'aeni (dosen UNCP).
Kegiatan dengan tema "Penguatan Literasi Sejarah Budaya Generasi Muda Tana Luwu Menuju Indonesia Emas 2045" melibatkan generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa se Kota Palopo.
Antusias untuk mengikuti kegiatan ini sangat terlihat dari banyaknya peserta bedah buku yang mendaftarkan diri. Kegiatan ini 'meledak' hingga tak terbendung. Namun sebanyak 125 peserta berhasil tersaring untuk mengikuti kegiatan ini sampai-sampai Warkop berkapasitas 100 pengunjung, penuh sesak oleh peserta.
Selanjutnya, Idwar mengungkapkan bahwa peserta sangat antusias mengikuti pemaparan dari penulis buku, Idwar Anwar serta tiga narasumber. Bahkan peserta dibatasi untuk bertanya, dan empat peserta yang bertanya pada sesi tanya jawab, mendapat hadiah langsung dari penulis buku.
Dalam pemaparannya, Harisal yang juga legislator 3 periode ini mengungkapkan pentingnya literasi sejarah budaya Luwu bagi generasi muda yang ada di Tana Luwu ini untuk meningkatkan pemahaman tentang perjuangan generasi muda di Tana Luwu dalam mempertahankan kemerdekaan pada 23 Januari 1946.
"Sebagai generasi muda, kegiatan ini tentunya sangat penting untuk dilakukan untuk memberikan pemahaman generasi muda terhadap sejarah yang ada di Tana Luwu."
Harisal juga menuturkan bahwa saat ini generasi muda semakin jarang yang mengetahui tentang sejarah perjuangan di Tana Luwu. Padahal pada masa itu, generasi muda lah yang berperan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, kata Harisal, pertempuran ini terjadi karena dua aspek yakni aspek relegiositas dan kultural.
"Aspek religiositas ini dapat dilihat dari tindakan/perlakukan Belanda terhadap pengurus mesjid dan Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam. Peristiwa ini terjadi, sebelum meletusnya Peristiwa 23 Januari 1946. Saat itu, para pemuda pejuang yang sebelumnya telah melakukan perampasan senjata tentara dari tangsi-tangsi Jepang mendapat tekanan dari Belanda (NICA)," ungkapnya.
Adapun aspek kultural, terang Harisal, terjadi saat pasukan NICA/KNIL melakukan operasinya dengan menggeledah rumah Andi Gau Opu Gawe, Kepala Distrik/Madika Bua yang dituduh menyimpan senjata yang dirampas dan melindungi para pejuang.
Opu Gawe adalah saudara kandung Andi Kambo, ibunda Datu Andi Jemma. Selama penggeledahan, mereka juga melakukan pemukulan terhadap beberapa orang yang ada di rumah Opu Gawe tersebut.
"Kedua peristiwa itu sangat melukai batin rakyat Luwu. Sebuah tragedi religio-kultural telah terjadi di Tana Luwu yang harus di balas dengan taruhan nyawa sekali pun. Akibatnya rakyat Luwu yang memang telah lama melakukan perlawanan terhadap penjajah, bahkan baru lepas dari penjajahan Jepang, semakin terpukul dengan peristiwa tersebut. Akibatnya, pecahlah peristiwa Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 yang membuat kota Palopo menjadi lautan api," pungkasnya. (ed)